Putaran kedua pilkada Jakarta tinggal menghitung hari. Namanya juga tim suksesi, berbagai cara termasuk trik kotor sekalipun rasanya halal dilakukan supaya kandidatnya menang. Misalnya dengan memelintir ayat, intimidasi, melontarkan issue SARA atau menyerang kepribadian sang lawan saat dialog terbuka.
Tudingan kafir, bodoh, sesat, rasis, dll terhadap kompetitor masih dianggap sebagai senjata ampuh oleh orang-orang yang ‘berpikiran kolot’. Padahal itu malah menunjukkan bahwa kemampuannya di bawah rata-rata dan seperti tak ada kemampuan untuk adu wacana. So, bagaimana mungkin mereka tetap ngotot menjadi pemimpin jika mengendalikan arogansi dirinya saja tidak bisa?
Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Semua sudah tau, pasangan pertama sama-sama muslim, sedangkan yang kedua adalah muslim-non muslim. Terus masalahnya dimana?Masalahnya ada pada pola pikir yang picik dan sempit.
Saya ingin memberi sedikit gambaran lain tentang polemik ini.
# Ketika ingin naik angkutan umum, taksi, pesawat, apakah Anda akan bertanya dulu apa agama si pengemudi lalu menentukan pilihan jadi naik atau tidak?
# Ketika melihat korban kecelakaan di jalan raya, sebelum menolongnya apakah Anda akan bertanya dulu apa agama si korban?
# Ketika bermain sepak bola dalam satu team, apakah Anda niat melakukan gol bunuh diri karena kebetulan kipernya kafir?
# Ketika tetangga sebelah rumah mendapat musibah, apakah lantas diam dan cuek karena ia tidak sekeyakinan dengan Anda?
Intinya, apa benar begini yang diajarkan oleh Islam saat menyikapi suatu perbedaan?
Banyak orang mengaku paling beriman tetapi hatinya penuh kedengkian. Banyak orang menepuk dada seraya berkata “SAYA PEJUANG KEADILAN!” namun sayangnya ia lupa sedang hidup di tengah keberagaman. Ah, betapa malangnya nasib agamaku. Ia hanya diingat dan dipakai sebagai kedok penutup nafsu birahi. Setelah terpuaskan, perilakunya pun tetap saja jauh dari tuntunan.
Ahok memang KAFIR, tetapi manakah yang jauh lebih berbahaya ketimbang menghadapi manusia munafik? Think about that!
Tudingan kafir, bodoh, sesat, rasis, dll terhadap kompetitor masih dianggap sebagai senjata ampuh oleh orang-orang yang ‘berpikiran kolot’. Padahal itu malah menunjukkan bahwa kemampuannya di bawah rata-rata dan seperti tak ada kemampuan untuk adu wacana. So, bagaimana mungkin mereka tetap ngotot menjadi pemimpin jika mengendalikan arogansi dirinya saja tidak bisa?
Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Semua sudah tau, pasangan pertama sama-sama muslim, sedangkan yang kedua adalah muslim-non muslim. Terus masalahnya dimana?Masalahnya ada pada pola pikir yang picik dan sempit.
Saya ingin memberi sedikit gambaran lain tentang polemik ini.
# Ketika ingin naik angkutan umum, taksi, pesawat, apakah Anda akan bertanya dulu apa agama si pengemudi lalu menentukan pilihan jadi naik atau tidak?
# Ketika melihat korban kecelakaan di jalan raya, sebelum menolongnya apakah Anda akan bertanya dulu apa agama si korban?
# Ketika bermain sepak bola dalam satu team, apakah Anda niat melakukan gol bunuh diri karena kebetulan kipernya kafir?
# Ketika tetangga sebelah rumah mendapat musibah, apakah lantas diam dan cuek karena ia tidak sekeyakinan dengan Anda?
Intinya, apa benar begini yang diajarkan oleh Islam saat menyikapi suatu perbedaan?
Banyak orang mengaku paling beriman tetapi hatinya penuh kedengkian. Banyak orang menepuk dada seraya berkata “SAYA PEJUANG KEADILAN!” namun sayangnya ia lupa sedang hidup di tengah keberagaman. Ah, betapa malangnya nasib agamaku. Ia hanya diingat dan dipakai sebagai kedok penutup nafsu birahi. Setelah terpuaskan, perilakunya pun tetap saja jauh dari tuntunan.
Ahok memang KAFIR, tetapi manakah yang jauh lebih berbahaya ketimbang menghadapi manusia munafik? Think about that!
0 komentar:
Posting Komentar