Kasus bupati Garut yang menceraikan seorang remaja setelah dinikahi empat hari saat ini sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat Indonesia. Kabarnya bupati Garut yang bernama Aceng Fikri menikahi seorang gadis berusia 19 tahun yang bernama Fanny Octora pada tanggal 16 Juli 2012 di kediamannya setelah bersumpah berstatus duda kepada keluarga besar Fanny Octora, sehingga Fanny Octora bersedia menikahi sang bupati. Fanny Octora mengaku bersedia menikahi Aceng Fikri supaya bisa meneruskan pendidikannya di bidang kebidanan. Selain itu, Aceng Fikri berjanji akan membuat akta perkawinan sepulang mereka dari umroh. Tetapi kenyataannya adalah, sebelum umroh, Fanny Oktora sudah diceraikan oleh Aceng Fikri empat hari setelah pernikahan mereka. Mirisnya, perceraian itu terjadi dengan langsung talak tiga melalui pesan singkat atau sms. Kasus ini kemudian mengakibatkan keresahan dan kemarahan dari masyarakat Garut sendiri.
Tindakan yang dilakukan oleh bupati Garut merupakan contoh yang tidak baik. Sebenarnya memang kehidupan rumah tangga merupakan urusan pribadi beliau. Namun bupati merupakan kepala atau pemimpin dari suatu kabupaten, dimana segala tindak tanduk seorang pemimpin rakyat dilihat, diamati, ditiru oleh rakyatnya, mengakibatkan masalah ini menjadi buah bibir masyarakat dan cukup meresahkan. Aceng Fikri telah gagal menjadi seorang bupati sebagai pemimpin rakyat, seorang pemimpin keluarga, dan seorang lelaki.
Kasus seperti ini seharusnya menjadi pengingat untuk para pemimpin dan diri kita masing-masing. Setidaknya kita merupakan pemimpin dari diri sendiri dan keluarga. Pemimpin seharusnya bisa menjadi contoh, bisa berjalan berdampingan dengan yang dipimpin, bisa memberi motivasi dan mendorong yang dipimpin sehingga bisa bersama-sama menuju pribadi yang lebih positif, seperti semboyan dari Ki Hajar Dewantara, yaitu “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang artinya “di depan bisa menjadi contoh atau panutan, di tengah bisa menciptakan ide dan prakarsa, di belakang bisa memberikan dorongan dan arahan”. Apabila seorang pemimpin sudah kehilangan kepercayaan dari yang dipimpin, akan sangat susah mengembalikan kepercayaan tersebut.
Selain mengingatkan para pemimpin, kasus seperti yang telah diceritakan di atas juga mengingatkan para lelaki. Lelaki yang baik seharusnya bisa lebih menghargai seorang wanita. Bagaimanapun juga, semua manusia, nabi sekalipun lahir dari rahim seorang wanita. Banyak orang berkata “dibalik seorang pria hebat terdapat wanita yang luar biasa”, selain itu juga “wanita diciptakan dari tulang rusuk pria” maka sangat tidak dibenarkan melecehkan seorang wanita dengan tindakan apapun, apalagi dengan tindakan seperti yang dilakukan sang bupati. Wanita seharusnya menjadi sosok yang mengilhami, dicintai dan mencintai, serta dihargai, bukan dilecehkan.
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, sehingga kasus-kasus seperti ini juga merupakan pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bagi pemimpinnya, sebaiknya menjadi seorang pemimpin sekaligus wakil rakyat yang baik dan bisa menjadi panutan . Bagi rakyat sipil, sebaiknya bisa selektif dan obyektif dalam memilih pemimpin yang seharusnya amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Bagi calon pemimpin rakyat, sebaiknya tidak memandang tugas atau jabatan sebagai pemimpin rakyat merupakan tugas yang mudah, sehingga mempersiapkan dan membekali diri dengan ilmu-ilmu baik teoritis maupun praktis, selain dengan tidak melupakan agama sebagai benteng dirinya. Apabila seluruh lapisan masyarakat sudah mampu menjalankan perannya masing-masing dengan baik, Indonesia akan menjadi negara maju dengan akhlak yang baik, insyaaAllah.
sumber:http://politik.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar