Menurut pengertian bahasa, aqiqah itu diambil dari suku kata aqqa yang berarti sepotong. Menurut Al-Azhari, Abu Ubaid dan Al-Ashmu’i, aqiqah adalah semua rambut yang ada pada kepala ank sewktu dilahirkan. Diberikannya nama aqiqah kepada “syah” atau kambing yang disembelih karena rambut yang ada pada si anak tersebut dicukur bertepatan dengan penyembelihan kambing. Oleh karena itulah disebutkan dalam sebuah hadits,”Singkirkanlah darinya kotoran.” Dan penyebutan “syah” (kambing yang disembelih) dengn aqiqah adalah majaz.
Diriwayatkan dari ‘aisyah radhiyallahu anha, “pada zaman jahiliyah dahulu, kalau orang-orang melakukan aqiqah atas anak kecil mereka mewarnai sepotong kapas dengan darah aqiqah, kemudian mreka mencukur rambut si anak dan meletakkan pada kepalanya.”[1]
Menurut syari’at, akikah ialah hewan yang disembelih ketika mencukur rambut si anak. Hukum akikah adalah sunah muakkad, berdasarkan hadits salman bin aamir azh-zhabyi, ia menuturkan; Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,”Bersama kelahiran seorang anak kecil ada akikah. Tuangkanlah darah (sembelihlah hewan) atas namanya dan hilangkanlah kotoran (cukur rambut) darinya.”[2]
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundad Radhiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلٌّ غُلَامٍ رَهِيْنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak yang baru dilahirkan itu tergadai oleh akikahnya yang disembelih atas namanya pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur dan diberi nama.”[3]
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyembelih akikah atas nama hasan dan Husain pada hari ketujuh, memberi mereka nama dan menyuruh untuk mencukur rambut dari kepala mereka.”[4]
Untuk satu orang anak laki-laki, yang disembelih dua ekor kambing, dan untuk seorang anak perempuan yang disembelih seekor kambing.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, “Untuk anak laki-laki, yang disembelih dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan yang satu ekor kambing.”[5]
Diriwayatkan oleh Ummu Larz Radhiyallahu Anha, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Untuk anak laki-laki, yang disembelih dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan yang satu ekor kambing.”[6]
Syarat-syarat Akikah
Hewan yang disembelih untuk keperluan akikah harus bebas dari cacat, sama seperti hewan untuk kurban. Jadi tidak boleh hewan yang keadaannya seperti di bawah ini:
1. Juling
2. Pincang
3. Yang sakit
4. Yang kurus
5. Yang gila
6. Yang pecah tanduknya
7. Yang berkudis
8. Yang sudah dipotong telinga dan pahanya, karena yang demikian itu mengurangi jatah yang semestinya.
Kriteria hewan kurban maupun hewan akikah yang mencukupi ialah hewan yang bebas dari cacat yang dapat mengurangi daging atau bagian-bagian lain yang dapat dimakan.[7]
Pertanyaan: Apakah boleh akikah dengan hewan dikebiri?[8]
Jawab: boleh, akikah dengan menggunakan hewan yang dikebiri, dianalogkan dengan hewan kurban, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkurban dengan dua ekor kambing yang dikebiri.
Yang Dianjurkan dalam Akikah
1. Ketika menyembelih hewan akikah, seseorang dianjurkan membaca “Bismillahi hadza minka wa ilaika, aqiqatu fulan” (Dengan menyebut nama Allah; Ya Allah, ini adalah dari Engkau dan dipersembahkan kepada Engkau sebagai akikah si polan)
2. Menyembelihnya ketika matahari terbit.
3. Mencukur kepala si anak sebelum hewan disembelih. Ada yang berpendapat sesudahnya, berdasarkan segi lahiriyah hadits.
4. Bershadaqah emas seberat bobot rambutnya. Jika tidak punya emas boleh dengan perak. Dianjurkan tidak ada satupun tulang hewan kurbannya yang pecah-pecah, dengan harapan demi kesehatan si anak.
5. Menurut pandangan yang shahih, dianjurkan memasak hewan akikah dengan menggunakan manisan (dimasak dengan rasa agak manis), agar akhlak si anak menjadi manis.
Menurut imam Asy-Syafi’I sebaiknya daging hewan yang dimasak diantarkan kepada orang-orang fakir miskin. Tetapi juga tidak apa-apa jika mengundang atau menghadirkan mereka.
6. Mentahnik (menggosok-gosok tenggorokan) si anak dengan manisan. Idealnya dengan kurma. Berdasarkan hadits Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu Anha, ia berkata,” Tatkala ia mengandung Abdullah bin Zubair di Makkah. Aku pergi menuju Madinah dan beristirahat di Quba’, saat itulah aku melahirkan. Kemudian aku membawanya kepada Nabi. Beliau mengambil bayiku itu lalu meletakkannya di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma. Dan setelah dikunyah, beliau kemudian meludahkannya ke mulut bayi itu, sehingga yang pertama-tama masuk ke dalam perutnya ialah ludah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selanjutnya, beliau menggosokkan tenggorokan bayi itu dengan kurma. Kemudian beliau mendoakan dan memberkatinya.”[9]
7. Dianjurkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan si anak, dan mengumandangkan iqamat di telinga kirinya. Hal itu berdasarkan hadits Abu Rafi’Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adzan di telinga Husain bin Ali ketika ia baru saja dilahirkan oleh Fatimah, seperti adzan shalat.”[10]
Kendatipun di dalam sanad hadits tadi ada unsur dhaif, tetapi menurut mayoritas ulama bisa diamalkan.
Adapun hadits Husain bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Siapa yang memiliki anak, lalu ia mengumandangkan adzan pada telinganya sebelah kanan, dan mengumandangkan iqamat pada telinganya sebelah kiri, niscaya ia tidak akan diganggu oleh ibunya si anak”,[11] adalah hadits maudhu’ yang tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Waktu Akikah
Dianjurkan menyembelih hewan akikah pada hari ketujuh kelahiran si anak, berdasarkan hadits Samurah bin Jundab, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
اْلغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ.
“Seorang anak itu digantungkan (tergadaikan) pada hewan akikahnya yang disembelih atas namanya pada hari ketujuh, diberi nama dan dicukur kepalanya.”
Selain hari ketujuh hewan kurban juga bisa disembelih pada hari keempat belas, atau pada hari keduapuluh satu, atau pada minggu-minggu berikutnya.
Beberapa ulama terkemuka dari madzhab Asy-Syafi’I Rahimahumullah mengatakan,[12]
“Tidak apa-apa menyembelih hewan akikah lewat hari ketujuh kelahiran si anak. Tetapi sebaiknya sedapat mungkin jangan sampai lewat dari batas usia baligh. Abu Abdullah Al-Busyiji dari Madzhab Asy-Syafi’I mengatakan, “Jika tidak disembelih pada hari ketujuh, hewan akikah bisa disembelih pada hari keempat belas, atau pada hari kedua puluh satu, atau pada minggu-minggu berikutnya.”
Beberapa Catatan Penting
1. Menurut mayoritas ulama dari kalangan madzhab Asy-Syafi’I, sebaiknya daging akikah tidak diberikan dalam keadaan mentah, tetapi dalam keadaan sudah dimasak.
2. Menurut mereka, makruh hukumnya melumuri kepala si anak dengan darah hewan akikah. Tetapi tidak apa-apa hukumnya mengolesi kepala si anak dengan wewangian atau dengan za’faran.
Menurut saya (Syaikh Hafidz Ali Syuaisyi’), hal itu adalah berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dengan isnad yang shahih bersumber dari AisyahRhadiyallahu Anha, ia berkata,
“Pada zaman jahiliyah dahulu, kalu orang-orang melaksanakan akikah atas seorang anak, mereka mengoleskan sepotong kapas dengan darah hewan akikah, dan ketika mencukur rambut si anak, mereka meletakkan kapas tersebut pada kepalanya. Lalu NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خُلُوْقًا
“Oleskan wewangian menggantikan darah.”
Perhatian:
Haram hukumnya bagi kaum wanita pergi ke tempat-tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan akikah untuk melumuri anak-anak mereka dengan darah, dengan anggapan bahwa hal itu katanya dapat menghilangkan sifat dengki dan juga bisa membuat panjang usia anak-anak mereka.
Sumber: Syaikh Hafidz Ali Syuaisyi’ dalam bukunya yang berjudul “Kado Pernikahan”
[1] Lihat, ucapan Doktor Mahmud Mathraji dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Munhaj Al-Qawim oleh Ibnu Hajar Al-Hatsami, hal. 408
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (5154)
[3] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (2838), dan oleh At-Tirmidzi (1522). Katanya hadits ini Hasan Shahih
[4] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (IX/200) dan oleh Al-Hakim (IV/237)
[5] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1513) dan Ahmad (VI/13)
[6] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1517). Katanya hadits ini hasan shahih. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (2835) (2836) oleh An-Nasa’I (V/165) dan oleh Ahmad (VI/422)
[7] Lihat Al-Iqna’ Fii Hilli Alfazh Abi Syuja’, oleh Asy-Syarbini Asy- Syafi’i (II/590) dengan sedikit perubahan kalimat.
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud
[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (54690), dan oleh Muslim (2146)
[10] Die=riwayatkan oleh Abu Dawud (5105) dan oleh yang lainnya. Di dalam sanadnya terdapat unsure dhaif.
[11] Hadits maudu’ diriwayatkan oleh Ibnu As-Sunni (623). Di dalam isnadnya terdapat nama Yahya bin Al-Ala’ dan gurunya si Marwan bin Salim yang menurut Imam Ahmad, Yahya adalah seorang perawi pendusta yang suka membuat-buat, dan si Marwan adalah perawi yang tidak tsiqat. Menurut Hafidz Ibnu Hajar, Marwan adalah seorang perawi yang haditsnya ditinggalkan. As-Saji dan lainnya juga menganggap hadits ini maudhu’
[12] Al-Minhaj Al-Qawim, Syarah Al-Muqaddimat Al-Hadhramiyat, oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat ta’liq muhaqqiqnya terhadap kitab tersebut.
Salam. Terima kasih atas informasinya, sangat bermanfaat. Izin di share ya... http://akikah.net/
BalasHapus