Suatu hari, seorang pemuda datang kepada seorang pertapa untuk meminta nasehat bijaknya. Pemuda ini dari perawakkannya adalah seorang pengusaha. Pakaiannya rapi dan ia datang dengan mengendarai mobil mewah.
“Guru, aku ingin bertanya satu hal padamu”, kata pemuda tersebut memberi hormat seadanya. Suaranya terdengar bergetar seperti menahan amarah yang hendak meledak daripadanya.
“Baiklah, dan apa masalahmu anak muda?”, tanya sang guru ramah sambil mempersilakannya duduk. Pemuda ini tidak mengubris tawaran sang guru dan pemuda ini terlihat uring-uringan tidak sabaran. Lalu diapun meluapkan emosinya.
“Guru, aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirian istriku. Dia begitu keras kepala dan selalu membantah apa yang kukatakan padanya. Padahal aku tahu apa yang dilakukanya salah, tapi sedikitpun nasehatku tidak digubrisnya”.
“Mengapa kamu berkata begitu?”, tanya sang guru sambil memainkan jenggotnya.
“Aku bisa berkata begitu karena aku dulu pernah mengalaminya dan aku tidak ingin istriku mengulang sejarah yang sama dan terluka. Tapi balasannya, dia mengatakan bahwa aku terlalu mengekangnya dan mengaturnya. Aku benar-benar pusing dibuatnya”, jawab pemuda ini terlihat semakin emosi.
Sang guru hanya menyimak keluh kesah pemuda ini. Lalu sang guru berdiri dan mengambil dua cangkir gelas. Ditawarkan pemuda ini duduk sekali lagi dengan senyuman ramah dan pandangan yang tajam. Pemuda ini akhirnya mau duduk walaupun emosinya masih tetap meluap.
Sang guru menuangkan teh pada cangkir pemuda ini hingga setengah penuh, dan cangkir satunya dituang dengan air berwarna hitam pekat setengah penuh juga. Pemuda ini yang melihatnya jadi bingung.
“Cangkir isi air hitam itu untuk siapa?”, tanya sipemuda.
“Untuk kamu anak muda”, jawab sang guru ramah.
“Hah? memangnya itu air apa?”, tanya pemuda tersebut makin bingung.
“Untuk kamu anak muda”, jawab sang guru ramah.
“Hah? memangnya itu air apa?”, tanya pemuda tersebut makin bingung.
“Air biasa saja”, jawab sang guru tersenyum lagi penuh arti.
“Ayo diminum…”, lanjut sang guru sambil mengambil cangkir berisi air hitam itu pada pemuda ini.
“Ayo diminum…”, lanjut sang guru sambil mengambil cangkir berisi air hitam itu pada pemuda ini.
“Tidak guru, tidak. Aku memilih minum teh ini saja”, tolak pemuda ini spontan sambil mengernyitkan dahi menebak-nebak air apa itu. Yang pasti tebakkannya bisa ditebak dari wajahnya bukan tebakan yang baik.
“Kok tidak mau? Memangnya kamu mengira ini minuman apa?”, tanya sang guru sambil menawarkan minuman itu lagi. Semakin ditawarkan semakin pemuda ini menolaknya. Dan karena selalu ditolak, sang guru menuangkan air hitam itu pada cangkir teh pemuda ini. Melihat hal itu, marahlah pemuda ini.
“Apa-apaan ini guru? Aku tidak mau minum kok dipaksa sih? Aku yakin air hitam itu bukan air yang baik, makanya guru memintaku meminumnya bukan?”, hardik pemuda ini sambil membuang semua isi cangkir teh itu yang telah tercampur dengan air hitam tadi.
Sang guru tertawa kecil melihat tingkah pemuda ini. Lalu dia mengambil satu cangkir gelas lagi yang telah disiapkannya dan dituangkan penuh dengan air hitam pekat tadi. Kemudian sang guru meminum air hitam itu dengan tenang dan terlihat sangat menikmati. Pemuda ini semakin bingung melihatnya. Entah maksud atau pelajaran apa yang hendak disampaikan padanya.
Meihat pemuda ini bingung, sang guru hanya memintanya duduk menemaninya minum. Dengan perasaan bercampur aduk antara bingung dan marah, pemuda ini mengiyakan saja dan duduk kembali ketempatnya tadi.
Sang guru lalu menuangkan teh kecangkir teh sebelumnya dan air hitam pada cangkir yang sebelumnya juga. Kali ini, sang guru tidak menawarkannya minum air hitam itu lagi.
“Hmm…, enak…”, desah kecil sang guru menikmati minuman air hitam itu. Pemuda ini yang awalnya menolak habis-habisan mulai sedikit tergoda. Tetapi karena gengsinya, ia malu mengakuinya dan meminta.
Satu cangkir habis, berlanjut pada cangkir kedua. Pemuda ini semakin penasaran dan akhirnya mencoba cangkir berisi air hitam itu walaupun sangat ragu. Ketika minuman ini dikecap lidahnya, pemuda ini terkejut dengan rasanya. “Wow, enak sekali guru… air apa sih ini?”, tanya pemuda ini spontan dan telihat senang.
Sang guru tertawa kecil melihat pemuda ini. “Bukankah tadi kamu menolak dan mengatakan bahwa air ini air yang tidak enak?”, goda sang guru. Pemuda ini menahan malu dan hanya bisa tertawa. Lalu sang gurupun menjelaskan apa arti semua ini.
“Anak muda, cangkir berisi teh itu selayaknya dirimu dan cangkir berisi air hitam ini selayaknya istrimu ataupun orang lain yang berseteru denganmu”.
“Kita semua bagaikan sebuah cangkir dengan TEH masing-masing yang kita pertahankan, banggakan dan benarkan. Bagi kita, semua isi cangkir lain adalah AIR HITAM. Ia tidak enak, tidak baik bahkan beracun”.
“Itulah yang sedang terjadi padamu anak muda. Kamu mempertahankan isi cangkirmu dan istrimu mempertahankan isi cangkirnya. Kamu mengatakan isi cangkirmu adalah yang terbaik karena kamu telah mencobanya dan telah membuktikannya, begitu juga dengan istrimu yang mempertahankan isi cangkirnya dengan alasan yang sama yang kamu katakan padanya”.
“Kamu menganggap isi cangkirmu adalah teh dan cangkir lainnya adalah air hitam. Begitu juga dengan istrimu yang menganggap cangkirnya berisi teh dan cangkirmu berisi air hitam”.
“Ketika dia tidak mau mendengarkan penjelasanmu yang mungkin memang baik, kamu memaksakan MENUANGKAN isi cangkirmu padanya seperti aku tadi memaksa menuangkan air hitam itu pada cangkir tehmu”.
“Apa yang terjadi kemudian? Tentunya kamu tidak lupa bukan? Istrimu marah dan membuang isi cangkirnya seperti kamu marah dan membuang isi cangkirmu”.
“Sesungguhnya inilah yang sering terjadi pada setiap manusia. Mereka selalu mengatakan bahwa orang lain salah, keras kepala, suka membantah dan tidak mau mendengar apa yang kita kata”.
“Maksud kita mungkin baik, tapi caranya tidak baik”.
“Harusnya, kita menyampaikan semuanya dengan cara baik-baik. Kita TUANGKAN (menjelaskan) isi cangkir kita padanya, tapi JANGAN PADA CANGKIRNYA (menyerang/menyalahkan) tapi pada CANGKIR LAINNYA (memberi contoh atau memperlihatkan)”.
“Awalnya sudah pasti semua menolak dan tidak percaya seperti kamu menolak meminumnya. Tetapi, dengan berjalannya waktu dan mereka melihatmu, hati mereka akan mulai luluh dan kemudian akan menerimanya walupun tidak utuh”.
“Ingatlah anak muda, tidak ada yang menang ketika kamu berdebat. Justru ketika kamu menang berdebat, kamu sekaligus kalah bersahabat. Dan ketika kamu kalah berdebat, kamu justru menolaknya jadi sahabat. Jadi tidak ada yang hebat dalam hal berdebat”.
Pemuda ini tersenyum mengerti maksud sang guru. Sebuah pelajaran baru dan luar biasa didapatkannya. Semoga kita semua juga belajar dari pelajaran sang pemuda. Ketika kita hendak berdebat ataupun ingin menyakinkan orang lain, ingatlah selalu kisah cangkir ini.
:)
sumber ; www.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar