Rabu, 26 September 2012

0 Adhyaksa Dault: Indonesia Negara Gagal?


13474902591437433562
Adhyaksa Dault (Kompas.com)
Cukup mencengangkan apa yang disampaikan oleh mantan menpora Adhyaksa Dault di acara Apa Kabar Indonesia Pagi, Rabu kemarin di TV One. Adhyaksa menyatakan bahwa pemerintah dan segenap komponen bangsa seharusnya mulai mengantisipasi kemungkinan Indonesia menjadi salah satu negara gagal. Apalagi, indikator Indonesia menuju negara gagal sudah mulai muncul.
Pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa negara yang dikaruniai SDA dan SDM yang luar biasa ini tak juga menunjukkan kemajuan dan kesejahteraan yang berarti layaknya negara-negara maju lain? Secara terbuka ataupun diam-diam, secara massif ataupun hanya sekelompok orang, kesadaran pandangan tentang ketidakberesan pengelolaan negeri ini tampaknya sudah menjalar kemana-mana.
Fund For Peace,  sebuah lembaga dari Amerika Serikat, menempatkan Indonesia sebagai negara “dalam bahaya” (in danger), pada peringkat 63 dari 178 negara. Turun satu tingkat dari tahun 2011. Sebaliknya, negara-negara tetangga, seperti Singapura (157), Malaysia (110), dan Thailand (84), menempati peringkat yang lebih bagus dari Indonesia.
Adhyaksa juga mengungkapkan, sejumlah ahli seperti Direktur Pencegahan dan Resolusi Konflik di Universitas Harvard dan Guru Besar University of California Los Angeles Jared Diamond menyebut Indonesia merupakan salah satu negara yang tengah menuju kondisi negara gagal bersama sejumlah negara lainnya, seperti Rwanda, Burundi, dan Afganistan.
“Itu indikator dari para ahli seperti itu jelas harus kita antisipasi. Mereka bilang Indonesia bakal menjadi negara gagal. Indikatornya antara lain kalau terjadi kleptokrasi (terjadi korupsi pada hampir semua cabang kekuasaan), ada pertarungan horizontal, kepercayaan daerah kepada pusat kurang, dan kepercayaan rakyat kepada pemimpin mulai hilang,” kata Adhyaksa
Beragam komentar yang muncul menanggapi peringkat ‘in danger‘ yang dipaparkan oleh Fund For Peace itu. Ada yang menerimanya sebagai pembenaran, ada yang menerimanya dengan catatan, tapi tidak sedikit yang menyikapinya secara defensif, sembari meragukan kredibilitas dan motif tersembunyi dari lembaga Fund For Peace itu. Ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud negara gagal adalah pemerintah yang tidak mampu memenuhi rasa aman dan kenyamanan warga, dan bukan bangsanya. Sebuah rezim pemerintahan di Indonesia boleh saja gagal, tapi NKRI tak akan pernah menjadi negara gagal.
Namun Adhyaksa membeberkan sebuah kenyataan yang menjadi warning bagi bangsa ini ke depan. Peralihan kekuasaan di negara ini yang hampir selalu terjadi secara ‘hard landing‘.  Bung Karno jatuh setelah setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak dalam sidang MPR, menyusul peristiwa G30S/PKI. Pak Harto jatuh dalam sebuah arus besar reformasi, menyusul terjadinya krisis moneter pada tahun 1998. Habibie, yang merupakan penerus Pak Harto, ditolak laporan pertanggungjawabannya di depan sidang MPR, karena dianggap bagian dari orde baru. Lalu Gus Dur, jatuh oleh sebuah ‘impeachment’ dalam sidang istimewa MPR. Baru setelah itu Megawati dapat mengakhiri kekuasaannya dengan ’soft landing’, mengantarkan Indonesia pada babak baru pemilihan presiden secara langsung yang melahirkan SBY sebagai presiden Indonesia yang dipilih rakyat secara langsung.
Ini menjadi catatan penting yang harus ditekankan bagi negara ini untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dan memiliki arah yang jelas dan terukur. Era orde baru dengan segala kekurangannya memiliki kelebihan dengan adanya Repelita dan GBHN yang menjadi acuan pembangunan bangsa dalam jangka panjang. Di era reformasi ini kita tidak memilikinya lagi, sehingga terjadi kecenderungan ganti kebijakan pada setiap pergantian kepemimpinan. Seharusnya kita memiliki sebuah ‘cetak biru’ yang memberikan acuan pada arah kebijakan negara, dalam segala bidang (terutama ekonomi, politik dan hubungan luar negeri), sehingga negara ini mampu berkembang dengan mengikuti rel yang telah disepakati, dan dapat melakukan pencapaian-pencapaian secara terukur.
Bagi Adhyaksa, sikap yang paling sehat adalah menjadikan judgment “negara gagal” itu sebagai evaluasi konstruktif yang menguntungkan kita. Kita tak perlu menolaknya secara defensif atau menerimanya secara inferior, melainkan harus mengolahnya sebagai kesadaran untuk memperbaiki kenyataan. Itulah pemikirannya yang coba disampaikan dalam sebuah bukunya yang berjudul “Menghadang Negara Gagal, Sebuah Ijtihad Politik”, yang dibahas pada acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One, Rabu kemarin. Sebuah pemikiran yang berharga, yang dipaparkan oleh mantan menteri pemuda dan olah raga, untuk kita, para pemuda kembangkan dalam sebuah aksi nyata, untuk Indonesia masa depan.http://politik.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates