Suatu hari, seorang yang saleh pergi ke pasar kuda untuk membeli seekor kuda.
Aneh, ada seekor kuda yang bagus, gagah dan elok tetapi dijual murah.
Lantas orang sholeh itupun bertanya, "Pak, mengapa kuda bagus ini bapak jual?"
"Lihatlah Tuan, dia begitu beringas dan sulit dikendalikan!"
"O, begitu.. Bagaimana kalau kuda ini saya beli?" tanya orang saleh itu.
"Ya silakan. Tapi tahu sendiri ya, kuda ini sangat liar" jawab sang penjual kuda.
Transaksi pun terjadi.
Lalu si pemilik baru kuda itu pun memegang tali kuda dan berbisik kepada si kuda, "Hai kuda, aku adalah hamba Allah. Dulunya aku memang nakal dan jahat, tetapi kini aku sudah bertaubat. Sekarang kamu menjadi milikku, maka baiklah kepadaku."
Seperti kena hipnotis saja, kuda itu tiba-tiba menjadi tenang dan lenyap segala aura keliarannya. Dia begitu nurut dituntun pulang oleh pemilik barunya yang saleh itu.
Ketika masalah datang kepada kita
Sesungguhnya jinak dan liarnya kuda itu semata-mata karena kehendak Allah, bukan urusan bagaimana cara memperlakukan dan menjinakkan saja. Sehingga ketika seorang pemilik kuda tidak mematuhi Allah, maka dengan mudah dijadikan-Nya hewan piaraannya tidak mematuhinya.
Contoh kasus semacam ini sungguh banyak sekali terjadi dalam kehidupan kita. Namun, kita senantiasa mengkaitkan segala macam masalah dengan hukum sebab-akibat "semata", menyorotinya dengan logika matematis, dengan cara yang kita anggap ilmiah dan menganggapnya sebagai salah satu cara terampuh menyelesaikan masalah keduniaan. Padahal sesungguhnya yang berjalan di dunia ini tidak hanya hukum alam semata, tetapi juga hukum Tuhan. Keterpaduan hukum alam dan hukum Tuhan yang sering disebut "sunnatullah" inilah yang sering tidak disadari manusia, manusia modern sekarang terutama. Terlepas dari abad-abad kegelapan yang penuh 'mistis' dan irrasionil, manusia saat ini justru terjerumus kepada pola pemikiran yang dianggapnya modern, terbaik, ilmiah tapi mengesampingkan faktor lain yang justru dominan, yaitu "Tuhan".
Aneh, ada seekor kuda yang bagus, gagah dan elok tetapi dijual murah.
Lantas orang sholeh itupun bertanya, "Pak, mengapa kuda bagus ini bapak jual?"
"Lihatlah Tuan, dia begitu beringas dan sulit dikendalikan!"
"O, begitu.. Bagaimana kalau kuda ini saya beli?" tanya orang saleh itu.
"Ya silakan. Tapi tahu sendiri ya, kuda ini sangat liar" jawab sang penjual kuda.
Transaksi pun terjadi.
Lalu si pemilik baru kuda itu pun memegang tali kuda dan berbisik kepada si kuda, "Hai kuda, aku adalah hamba Allah. Dulunya aku memang nakal dan jahat, tetapi kini aku sudah bertaubat. Sekarang kamu menjadi milikku, maka baiklah kepadaku."
Seperti kena hipnotis saja, kuda itu tiba-tiba menjadi tenang dan lenyap segala aura keliarannya. Dia begitu nurut dituntun pulang oleh pemilik barunya yang saleh itu.
Ketika masalah datang kepada kita
Sesungguhnya jinak dan liarnya kuda itu semata-mata karena kehendak Allah, bukan urusan bagaimana cara memperlakukan dan menjinakkan saja. Sehingga ketika seorang pemilik kuda tidak mematuhi Allah, maka dengan mudah dijadikan-Nya hewan piaraannya tidak mematuhinya.
Contoh kasus semacam ini sungguh banyak sekali terjadi dalam kehidupan kita. Namun, kita senantiasa mengkaitkan segala macam masalah dengan hukum sebab-akibat "semata", menyorotinya dengan logika matematis, dengan cara yang kita anggap ilmiah dan menganggapnya sebagai salah satu cara terampuh menyelesaikan masalah keduniaan. Padahal sesungguhnya yang berjalan di dunia ini tidak hanya hukum alam semata, tetapi juga hukum Tuhan. Keterpaduan hukum alam dan hukum Tuhan yang sering disebut "sunnatullah" inilah yang sering tidak disadari manusia, manusia modern sekarang terutama. Terlepas dari abad-abad kegelapan yang penuh 'mistis' dan irrasionil, manusia saat ini justru terjerumus kepada pola pemikiran yang dianggapnya modern, terbaik, ilmiah tapi mengesampingkan faktor lain yang justru dominan, yaitu "Tuhan".
Padahal sesungguhnya yang berjalan di dunia ini tidak hanya hukum alam semata, tetapi juga hukum Tuhan
Contoh masalah...
Ketika anak-anak Anda menjadi liar dan tak kunjung menaati Anda padahal segala kebutuhan mereka telah Anda cukupi; ketika istri Anda tidak menghormati dan menghargai Anda padahal uang belanja yang Anda berikan tidak pernah berkurang; ketika hubungan Anda dengan teman dan orang-orang di sekeliling Anda serasa kurang 'klik' dan nyaman padahal mereka sering Anda traktir; ketika pekerjaan Anda selalu mendatangkan hasil yang kurang memuaskan padahal Anda sudah all out .....
Maka apa yang akan kita lakukan sebagai orang modern?
Cara ilmiah modern mengajarkan agar kita meneliti akar permasalahan dengan mengumpulkan semua data yang terkait dengan itu, lalu menganalisa dan merumuskan sesungguhnya masalah apa yang terjadi, kemudian mengeksplorasi berbagai solusi yang mungkin digunakan untuk menyelesaikannya.
Tapi sayangnya, tidak pernah lepas dari lingkup kebendaaan (konkrit dan abstrak) yang sering disebutnya sebagai syarat obyektivitas. Faktor penting lain yang bernama "Tuhan dan hukum-hukumnya" sering diabaikan, dan tidak pernah bisa disandingkan dengan hukum sebab-akibat yang telah mereka jadikan pegangan.
Sehingga bunyi solusi masalah dunia ini tidak jauh dari ....
"Kurangnya perhatian suami pada istrinya.."
"Perlunya ekstensitas dan intensitas waktu sang ayah menemani anak.."
"Planning harus lebih cermat dan kontrol harus lebih kuat..."
dst..
Dan tidak pernah kita mendengar solusi semacam ini..
"Merenungi kesalahan dan dosa besar apakah yang telah diperbuat..."
"Bertaubat dan terus menetapkan hati untuk itu..."
"Memperbaiki sholat yang telah lama ditinggalkan ..."
"Memperbanyak shodaqah padahal rizki telah dilimpahkan ...."
"Mengunjungi masjid yang telah dibangunnya sendiri..."
dst
Di antara rumus-rumus Allah...
Intropeksi semacam ini sangat perlu.
Cobalah kita perhatikan, di antara rumus-rumus yang Allah ajarkan kepada kita. Barangkali tidak cocok dengan hukum sebab-akibat versi kita, atau barangkali sering kali kita anggap kurang ilmiah... Tetapi beginilah Allah menetapkannya.
"Siapapun yang bertakwa, maka.... dibukakan untuknya banyak solusi dari banyak masalah"
"Siapapun yang bertakwa, maka ... Dia akan mendatangkan rezeki yang tak terduga"
"Siapapun yang banyak mengingat dan menyebut nama Allah, maka... dia akan beroleh keuntungan yang banyak"
"Tolonglah agamamu, perjuangkan dengan seluruh kemampuanmu, maka... Dia jamin kehidupanmu di dunia dan akherat"
"Seandainya warga suatu daerah itu beriman, maka.. akan dibukakan barokah seluas-luasnya dari usahanya"
Bahkan mungkin ganjil dalam logika kita, ketika Rasulullah SAW bersabda bahwa yang menyebabkan bencana kekeringan berkepanjangan, serangan hama tanaman, gempa bumi, terjangkitnya penyakit menular, dan sejenisnya adalah disebabkan oleh orang yang enggan membayar zakat, perzinahan dan mengumbar aurat wanita terjadi merajalela, maraknya pembunuhan, dst. Tapi begitulah keterkaitan bila dijelaskan dalam kacamata iman, dan begitulah "rumus-rumus" Allah ditetapkan...
Rumus-rumus semacam inilah yang sering kita abaikan dan tidak pernah kita jadikan solusi serius untuk menyelesaikan masalah. Lihatlah bagaimana permasalahan kita, masyarakat kita, bangsa kita, dan seluruh masalah keduniaan ini. Selalu dikaji dan membuahkan solusi yang acapkali mengabaikan-Nya.
Kita lebih suka mengikuti keyakinan kita sendiri terhadap keilmuan kita, padahal itu tidak mengubah apapun dan menghasilkan apapun. Kita yakin korupsi bisa diberantas dengan perbaikan sistem dan personil, kita yakin krisis ekonomi bisa diperbaiki dengan membangun ekonomi kerakyatan berbasis usaha kecil dsj, kita yakin kesejahteraan bisa ditingkatkan dengan membatasi pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kualitas SDM masyarakat, dan seterusnya....
Maka apa yang akan kita lakukan sebagai orang modern?
Cara ilmiah modern mengajarkan agar kita meneliti akar permasalahan dengan mengumpulkan semua data yang terkait dengan itu, lalu menganalisa dan merumuskan sesungguhnya masalah apa yang terjadi, kemudian mengeksplorasi berbagai solusi yang mungkin digunakan untuk menyelesaikannya.
Tapi sayangnya, tidak pernah lepas dari lingkup kebendaaan (konkrit dan abstrak) yang sering disebutnya sebagai syarat obyektivitas. Faktor penting lain yang bernama "Tuhan dan hukum-hukumnya" sering diabaikan, dan tidak pernah bisa disandingkan dengan hukum sebab-akibat yang telah mereka jadikan pegangan.
Sehingga bunyi solusi masalah dunia ini tidak jauh dari ....
"Kurangnya perhatian suami pada istrinya.."
"Perlunya ekstensitas dan intensitas waktu sang ayah menemani anak.."
"Planning harus lebih cermat dan kontrol harus lebih kuat..."
dst..
Dan tidak pernah kita mendengar solusi semacam ini..
"Merenungi kesalahan dan dosa besar apakah yang telah diperbuat..."
"Bertaubat dan terus menetapkan hati untuk itu..."
"Memperbaiki sholat yang telah lama ditinggalkan ..."
"Memperbanyak shodaqah padahal rizki telah dilimpahkan ...."
"Mengunjungi masjid yang telah dibangunnya sendiri..."
dst
Di antara rumus-rumus Allah...
Intropeksi semacam ini sangat perlu.
Cobalah kita perhatikan, di antara rumus-rumus yang Allah ajarkan kepada kita. Barangkali tidak cocok dengan hukum sebab-akibat versi kita, atau barangkali sering kali kita anggap kurang ilmiah... Tetapi beginilah Allah menetapkannya.
"Siapapun yang bertakwa, maka.... dibukakan untuknya banyak solusi dari banyak masalah"
"Siapapun yang bertakwa, maka ... Dia akan mendatangkan rezeki yang tak terduga"
"Siapapun yang banyak mengingat dan menyebut nama Allah, maka... dia akan beroleh keuntungan yang banyak"
"Tolonglah agamamu, perjuangkan dengan seluruh kemampuanmu, maka... Dia jamin kehidupanmu di dunia dan akherat"
"Seandainya warga suatu daerah itu beriman, maka.. akan dibukakan barokah seluas-luasnya dari usahanya"
Bahkan mungkin ganjil dalam logika kita, ketika Rasulullah SAW bersabda bahwa yang menyebabkan bencana kekeringan berkepanjangan, serangan hama tanaman, gempa bumi, terjangkitnya penyakit menular, dan sejenisnya adalah disebabkan oleh orang yang enggan membayar zakat, perzinahan dan mengumbar aurat wanita terjadi merajalela, maraknya pembunuhan, dst. Tapi begitulah keterkaitan bila dijelaskan dalam kacamata iman, dan begitulah "rumus-rumus" Allah ditetapkan...
Rumus-rumus semacam inilah yang sering kita abaikan dan tidak pernah kita jadikan solusi serius untuk menyelesaikan masalah. Lihatlah bagaimana permasalahan kita, masyarakat kita, bangsa kita, dan seluruh masalah keduniaan ini. Selalu dikaji dan membuahkan solusi yang acapkali mengabaikan-Nya.
Kita lebih suka mengikuti keyakinan kita sendiri terhadap keilmuan kita, padahal itu tidak mengubah apapun dan menghasilkan apapun. Kita yakin korupsi bisa diberantas dengan perbaikan sistem dan personil, kita yakin krisis ekonomi bisa diperbaiki dengan membangun ekonomi kerakyatan berbasis usaha kecil dsj, kita yakin kesejahteraan bisa ditingkatkan dengan membatasi pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kualitas SDM masyarakat, dan seterusnya....
Tidak pernah terdengar kampanye "taubat nasional".... "musahabah nasional"... tentang apakah kesalahan dan dosa-dosa masyarakat di negeri ini kepada-Nya.. tentang sejauh manakah kesanggupan orang-orang yang mengaku beriman di negeri ini dalam menjalankan amanat-amanat yang dititipkan-Nya, dan seterusnya..
Melibatkan-Nya kembali dalam permasalahan kita..
Maka bila masalah ringan ataupun berat menimpa kita, maka lihatlah diri kita ....
Bagaimana sikap kita selama ini pada Sang Khaliq Yang telah menciptakan kita padahal tidak kita minta; Yang telah memberi rizki kita tak terhingga tapi selalu kita anggap kurang; Yang memelihara kehidupan kita di saat kita amat terlena dan tak kuasa apa-apa, dan .... Yang telah menunjukkan jalan yang benar kepada kita tapi kita abaikan, kita lebih memilih jalan kita sendiri...cara kita sendiri...
Kembalilah kepada-Nya.... kembali kepada jalan seharusnya kita berada, kembali kepada hakekat sesungguhnya mengapa kita dihadirkan di dunia. Relakan dirimu untuk mengikuti apa mau-Nya, lupakan segala keinginanmu yang membuatmu lupa akan tujuan hidupmu yang sebenarnya..
Tangan-Nya terbuka lebar menyambut kembalimu, dan kan dibentangkan-Nya jalan yang jauh lebih baik untukmu.
Melibatkan-Nya kembali dalam permasalahan kita..
Maka bila masalah ringan ataupun berat menimpa kita, maka lihatlah diri kita ....
Bagaimana sikap kita selama ini pada Sang Khaliq Yang telah menciptakan kita padahal tidak kita minta; Yang telah memberi rizki kita tak terhingga tapi selalu kita anggap kurang; Yang memelihara kehidupan kita di saat kita amat terlena dan tak kuasa apa-apa, dan .... Yang telah menunjukkan jalan yang benar kepada kita tapi kita abaikan, kita lebih memilih jalan kita sendiri...cara kita sendiri...
Kembalilah kepada-Nya.... kembali kepada jalan seharusnya kita berada, kembali kepada hakekat sesungguhnya mengapa kita dihadirkan di dunia. Relakan dirimu untuk mengikuti apa mau-Nya, lupakan segala keinginanmu yang membuatmu lupa akan tujuan hidupmu yang sebenarnya..
Tangan-Nya terbuka lebar menyambut kembalimu, dan kan dibentangkan-Nya jalan yang jauh lebih baik untukmu.