Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan dari apa yang kami beri [rizki-kan], mereka menginfakkannya.” [Q.S. Al-Baqarah: 3, Al-Anfal: 3, Al-Hajj: 35, dan di lain tempat dalam Kitab yang suci nan mulia]
Termasuk di antara rizki teragung adalah ILMU, yaitu ilmu syar’i yang berfaedah untuk siapapun, di manapun dan kapanpun.
Al-Hasan Al-Bashry, pernah berkata yang kira-kira berlafadz:
إنَّ مِنْ أَعْظَمِ النَّفَقَةِ نَفَقَةَ الْعِلْمِ
“Sesungguhnya di antara nafkah teragung adalah nafkah ilmu”
Di lain kesempatan, beliau juga berkata:
نِعْمَتْ الْعَطِيَّةُ وَنِعْمَتْ الْهَدِيَّةُ : الْكَلِمَةُ مِنْ الْخَيْرِ يَسْمَعُهَا الرَّجُلُ فَيُهْدِيهَا إلَى أَخ لَهُ مُسْلِمٍ
“Sebaik-baik pemberian dan hadiah adalah kata dari kebaikan yang didengar oleh seseorang, yang kemudian ia menyampaikannya kepada saudara muslimnya.”
Abu Darda -radhiyallahu anhu- pernah berkata:
مَا تَصَدَّقَ عَبْدٌ بِصَدَقَةِ أَفْضَلَ مِنْ مَوْعِظَةٍ يَعِظُ بِهَا إخْوَانًا لَهُ مُؤْمِنِينَ فَيَتَفَرَّقُونَ وَقَدْ نَفَعَهُمْ اللَّهُ بِهَا
“Tidaklah ada yang lebih utama dari sedekahnya hamba melainkan sedekahnya berupa mau’idzah yang saudara2nya dari kaum mukminiim mengambil pelajaran darinya, lalu mereka berpisah-pisah sementara Allah telah memberi mereka manfaat dengannya [dengan mau'idzah/pelajaran] tersebut.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad DHAIF, bahwa Rasulullah bersabda:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ يَتَعَلَّمَ الرَّجُلُ عِلْمًا ثُمَّ يُعَلِّمَهُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Seutama-utamanya sedekah adalah seseorang yang belajar suatu ilmu, kemudian ia mengajarkannya pada saudaranya yang muslim.” [H.R. Ibnu Majah: 243]
NAMUN, bukan berarti:
–> Segala sesuatu yang ia anggap bermakna bagi dirinya, lantas ia sebarkan begitu saja, terutama ayat atau hadits. Karena bisa saja ia memahaminya salah [meskipun ia menganggap fahamnya benar].
–> Segala sesuatu yang teranggap fantastis atau indah, namun sebenarnya tidak difahami, tidak layak disebarkan begitu saja.
–> Memahami atau mendalami untuk diri sendiri lebih didahulukan dibanding memahamkan orang lain; terlebih jika materi atau ilmu tersebut tidak ringan dan masih menyisakan banyak tanda tanya yang belum terjawab.
–> Anjuran untuk menyebarkan ilmu tidak serta merta melegalisir semua orang boleh bicara tentang semuanya; meskipun hanya sekedar copas atau menitip link.
Maka, bukan kuantitas atau banyaknya sesuatu yang kau beri pada manusia, tetapi yang diutamakan adalah kualitas yang kau beri atau ikhlasnya kau memberi.
Benarkah aku memahami yang aku beri?
Benarkah aku ikhlas dengan apa yang aku beri?
Wallahu a’lam
“Dan dari apa yang kami beri [rizki-kan], mereka menginfakkannya.” [Q.S. Al-Baqarah: 3, Al-Anfal: 3, Al-Hajj: 35, dan di lain tempat dalam Kitab yang suci nan mulia]
Termasuk di antara rizki teragung adalah ILMU, yaitu ilmu syar’i yang berfaedah untuk siapapun, di manapun dan kapanpun.
Al-Hasan Al-Bashry, pernah berkata yang kira-kira berlafadz:
إنَّ مِنْ أَعْظَمِ النَّفَقَةِ نَفَقَةَ الْعِلْمِ
“Sesungguhnya di antara nafkah teragung adalah nafkah ilmu”
Di lain kesempatan, beliau juga berkata:
نِعْمَتْ الْعَطِيَّةُ وَنِعْمَتْ الْهَدِيَّةُ : الْكَلِمَةُ مِنْ الْخَيْرِ يَسْمَعُهَا الرَّجُلُ فَيُهْدِيهَا إلَى أَخ لَهُ مُسْلِمٍ
“Sebaik-baik pemberian dan hadiah adalah kata dari kebaikan yang didengar oleh seseorang, yang kemudian ia menyampaikannya kepada saudara muslimnya.”
Abu Darda -radhiyallahu anhu- pernah berkata:
مَا تَصَدَّقَ عَبْدٌ بِصَدَقَةِ أَفْضَلَ مِنْ مَوْعِظَةٍ يَعِظُ بِهَا إخْوَانًا لَهُ مُؤْمِنِينَ فَيَتَفَرَّقُونَ وَقَدْ نَفَعَهُمْ اللَّهُ بِهَا
“Tidaklah ada yang lebih utama dari sedekahnya hamba melainkan sedekahnya berupa mau’idzah yang saudara2nya dari kaum mukminiim mengambil pelajaran darinya, lalu mereka berpisah-pisah sementara Allah telah memberi mereka manfaat dengannya [dengan mau'idzah/pelajaran] tersebut.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad DHAIF, bahwa Rasulullah bersabda:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ يَتَعَلَّمَ الرَّجُلُ عِلْمًا ثُمَّ يُعَلِّمَهُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Seutama-utamanya sedekah adalah seseorang yang belajar suatu ilmu, kemudian ia mengajarkannya pada saudaranya yang muslim.” [H.R. Ibnu Majah: 243]
NAMUN, bukan berarti:
–> Segala sesuatu yang ia anggap bermakna bagi dirinya, lantas ia sebarkan begitu saja, terutama ayat atau hadits. Karena bisa saja ia memahaminya salah [meskipun ia menganggap fahamnya benar].
–> Segala sesuatu yang teranggap fantastis atau indah, namun sebenarnya tidak difahami, tidak layak disebarkan begitu saja.
–> Memahami atau mendalami untuk diri sendiri lebih didahulukan dibanding memahamkan orang lain; terlebih jika materi atau ilmu tersebut tidak ringan dan masih menyisakan banyak tanda tanya yang belum terjawab.
–> Anjuran untuk menyebarkan ilmu tidak serta merta melegalisir semua orang boleh bicara tentang semuanya; meskipun hanya sekedar copas atau menitip link.
Maka, bukan kuantitas atau banyaknya sesuatu yang kau beri pada manusia, tetapi yang diutamakan adalah kualitas yang kau beri atau ikhlasnya kau memberi.
Benarkah aku memahami yang aku beri?
Benarkah aku ikhlas dengan apa yang aku beri?
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar