Jumat, 14 September 2012

0 Puan Maharani yang “Njawani”


Sesuatu yang menarik telah terjadi saat berlangsung Rapat Koordinasi Bidang Politik dan pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Wilayah PDIP Jateng. Dalam forum yang berlangsung, Minggu 5 Agustus lalu, Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengutip beberapa patah filsafat Jawa. Kutipan itu meski samar-samar, sebenarnya terlalu terang ke mana filsafat itu hendak ditujukan. Ke mana arah bidikan, sangat jelas tergambar dalam forum tersebut.
Puan Maharani dengan tangkas mengutip filsafat Jawa, bahwa menjadi calon gubernur  salah satunya itu harus memiliki  sikap ngayomi, ngayemi, lan ngayani. Dalam kaitan kepemimpinan, sebenarnya masih banyak filasafat Jawa yang bisa dikutip. Misalnya saja tentang bahwa pemimpin harus mampu menerapkan ajaran  hamong, hamot, dan hamemangkat. Secara substansi kedua ajaran itu tidaklah jauh berbeda. Di samping masih juga ada ajaran lain seperti yang tertuang dalam hastabrata (bahwa pemimpin itu harus belajar dari kawicaksanan  bumi, air,  rembulan, gunung, api, angin,dan sebagainya.
Ngayomi, atau memberikan perlindungan bukan semata-mata perlindungan terhadap yang bersifatwantah, tetapi lebih bermakna memberikan perlindungan pada rasa batin. Dengan sifat-sifat ngayomitersebut, seorang pemimpin tidak harus hadir secara fisik memberikan  perlindungan, tetapi semua  kebijakannya memberikan rasa itu.  Dengan menuding-nuding anak buah yang salah di depan umum, tentu itu bukan sifat ngayomi, tetapi memperlihatkan wajah kekuasaan dan membuat anak buah tidak tentram secara batin.  Dalam relasi, gubernur dengan bupati dan mungkin juga pada kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bahasa lisan yang dibangun pun seyogyanya tetap pada koridorngayomi tersebut.
Jika bahasa yang dibangun cenderung kasar, maka bawahan yang mendengar langsung menjadi sakit hati, dan bisa saja merembet sampai kepada mereka yang tidak mendengar langsung (tembung jare).Tembung jare ini bisa berlangsung lebih dahsyat dari keadaan sesungguhnya. Bahasa lisan yang tidak santun ketika menegur staf atau bawahan menunjukkan bahwa pemimpin tersebut belum dewasa, bahkan jauh dari wicaksana.
Sikap ngayomi itu berdekatan erat dengan sikap ngayemi, atau member rasa tentram. Sosok pemimpin yang menentramkan itu, seperti sifat-sifat air yang pada dirinya memberikan rasa menyegarkan, membasuh peluh, memberikan kehidupan, selalu turun ke bawah, mengerti ke mana ia harus mengalir, bahkan bisa memberikan rasa sehat di kala sakit.
Bahkan lebih jauh, ngayemi itu terekspresikan di dalam tingkah laku keseharian.  Berjumpa dengan anak buah, memberikan senyuman atau membalas ketika disapa “Selamat Pagi Bapak..” dengan sikap lahir seperti itu, pemimpin sebenarnya sedang menebar rasa damai, sehingga orang-orang yang berhadapan dengannya merasakan kedamaian sesungguhnya.
Rasa damai yang ditebarkan itu adalah ekspresi dari sikap batin sesungguhnya, dan bukan sikap atau nafsu sedang mencitrakan diri sebagai pemimpin yang ramah. Di dalam masyarat Jawa yang sangat sensitif  ini, sikap ikhlas dalam senyum akan terlihat karena pemimpin  itu hadir di setiap kesempatan, baik detik, maupun hari.
Ngayemi itu ekspresi dari damai, ikhlas, dan jujur, sehingga ketika seorang pemimpin itu berada dalam kejauhan, tetap saja hadir “rasa anyem” itu. Rasa yang sedemikian ini sangat mahal, dan sangat jarang pemimpin yang mampu melakukan hal ini. Bahkan, yang sering terjadi, dan terlihat adalah hanya dengan wajahnya saja, orang tersebut tidak bisa ngayemi. Apalagi sikap diri, dan kebijakannya.
Sedangkan ngayani lebih menekankan pada sikap “memberi” kekayaan.  Memberi kekayaan ini sangat salah jika semata-mata diartikan sebagai memberi uang. Pasti bukan ini juga yang dimaksud oleh Puan Maharani ketika menyindir Bibit Waluyo. Sikap “ngayani” itu bisa ditafsirkan dua sisi, yaitu sikap diri ke dalam diri pribadi, dan sikap diri terhadap orang lain. Sikap diri ke dalam diri pribadi yang ngayani itu adalah  kemampuan memiliki “kekayaan” batin yang tinggi, yang oleh Raden Panji Sosrokartono disebut sebagai “sugih tanpa bandha”.
Pemimpin yang “sugih rasa” itu diekspresikan pada sikap batin seperti sabar, ikhlas, jembare manah, ikut merasakan penderitaan bawahan, bukan sebaliknya ketika ada anak buah salah malah “diumpat-umpat” di keramaian, rapat terbuka, dan sebagainya. Bukankah seharusnya dengan “sugih rasa” itu, seorang pemimpin akan mendatangi anak buah atau keluarganya yang  tersandung masalah hukum misalnya. Memberikan motivasi, dorongan, nggedekke  ati . Bukan sebaliknya dengan mengatakan”rasakna kowe !”.
Sikap “sugih rasa” (ngayani) ini jika terekspresikan keluar, masuk ke dalam pergaulan luas, lebih mencerminkan sikap diri yang andap asor, rendah hati, merasa diri bukanlah yang terbaik, sehingga orang lain tidak merasa “risih”. Pemimpin yang baik sepanjang masa akan mengekspresikan sikap batin,during gedhe yen during wani cilik, dan durung dhuwur yen durung wani  endhek. Dengan mengatakan bahwa, ora ana  pemimpin sing jempol kaya aku….Nah, pemimpin tersebut  sedang “merasa “besar. (rumangsa gedhe).
Ketika Puan Maharani mengantar pidato seperti itu, momentumnya sungguh tepat. Pertama, Jawa Tengah merupakan basis massa PDIP terbesar. Kedua, memiliki bupati/wali kota paling banyak. Ketiga, beberapa di antaranya sedang tersangkut masalah hukum.Keempat, tengah mempersiapkan kemenangan pada Pilpres dan Pileg mendatang.
Pertanggungjawaban partai  sebagai pemenang pemilu terhadap masyarakat Jawa Tengah sudah diwujudkaan oleh para bupati/wali kota. Beberapa di antaranya sungguh-sungguh telah menjadi pemimpin yang baik seperti  Joko Widodo (Solo), Untung Wiyono (Sragen), Singgih Sanyoto (Kabupaten Magelang), dan juga Mustofa (Kudus), dan masih banyak yang lain.
Menariknya, di tengah prestasi Joko Widodo sebagai wali kota Solo yang berkibar seperti itu, tampaknya Gubernur lupa “hamemangkat” (memberikan penghargaan, atau sikap menghargai martabat orang lain), malah sebaliknya terlibat “perseteruan” yang panjang. Maka,  sikap seperti itu menjadi mengherankan, bukankah mereka lahir dan besar dari PDIP ?  Secara keseluruhan, hal tersebut tidak menguntungkan partai, bahkan mencederai amanah yang diberikan Ketua Umum PDIP. Tidak mengherankan manakala, di acara rapat pengurus partai ada yang menyelutuk “Hidup Joko Wi! “ justru ketika Bibit Waluyo sedang memasuki ruangan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates