Penulis: Hasanuddin dan Yuswohady
Penentuan siapa pemenang Pilkada DKI Jakarta tinggal menunggu waktu beberapa saat saja. Genderang perang kampanye dari dua kandidat yang lolos putaran dua, pasangan Fauzi Bowo/Nachrowi Ramli dan Joko Widodo/Basuki Tjahja Purnama, telah ditabuh. Berbagai upaya dilakukan oleh dua kandidat tersebut untuk meraih simpati dan suara sebanyak-sebanyaknya dari pemilih Jakarta.
Banyak pihak melihat bahwa Pilkada Jakarta penting dalam konteks kehidupan demokrasi di Indonesia, bukan saja posisi Jakarta sebagai ibukota negara, tapi juga karena Jakarta dianggap sebagai miniatur Indonesia. Selain itu karakter pemilih Jakarta juga penting dianalisis karena memiliki keunikan dibanding daerah lain, baik dari sisi demografis, ekonomi, maupun sosial budaya.
Didominasi Kelas Menengah
Berdasarkan Sensus Penduduk BPS 2010, penduduk Jakarta diperkirakan mencapai 9,6 juta jiwa. Berbeda dengan struktur demografi daerah lain, 73% penduduk Jakarta berusia di bawah 40 tahun. Katakanlah yang memiliki hak pilih adalah yang berusia 17 tahun ke atas, maka pemilih Pilkada DKI sangat didominasi kalangan muda, yaitu 65,6% untuk penduduk yang berusia 17-40 tahun.
Dari sisi sosial ekonomi, penduduk Jakarta juga berbeda dengan karakteristik penduduk Indonesia secara umum. Bila GDP (gross domestic product) perkapita penduduk Indonesia tahun 2011 sebesar US$ 3,542, maka GDP perkapita Jakarta sebesar kurang lebih US$ 10,000. Dengan GDP perkapita sedemikian besar, maka penduduk Jakarta secara strata sosial ekonomi didominasi oleh kelas menengah. Pemilih ini rasional, tidak ideologis, dan cenderung apatis terhadap politik.
Begitu halnya dengan etnis, penduduk Jakarta juga multi-etnik. Menurut hasil sensus penduduk BPS tahun 2000, etnis Jawa di Jakarta mencapai 35,16%, Betawi 27,65%, Sunda 15,27%, dan sisanya etnik lain-lain. Dengan komposisi etnis tersebut, Jakarta merupakan rumah bagi seluruh etnis di Indonesia. Mau mencari etnis apapun di Jakarta pasti kita akan bisa mendapatkannya.
Awareness, Image, Engagement
Menghadapi putaran kedua Pilkada DKI Jakarta ini, Alfara/Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS) melakukan studi terkait dengan aspirasi pemilih muda dan kelas menengah di Jakarta. Studi ini bersifat independen dan tidak dibiayai oleh pihak manapun. Studi ini dimaksudkan untuk menyuburkan tumbuh kembangnya keilmuan politik berbasis riset di Indonesia.
Survei ini tidak sekedar mengukur popularitas dan elektabilitas kandidat semata, tapi juga ingin menemukan alat ukur baru yang mampu memotret performa kandidat lebih mendalam. Lebih jauh lagi survei ini juga berupaya memotret aspirasi politik kelas menengah Jakarta, karena kita tahu bahwa pemegang suara mayoritas pemilih di Jakarta adalah kelas menengah.
Survei dilakukan terhadap 250 responden dengan margin of error 6,1%. Responden berusia 17-49 tahun dengan tingkat pengeluaran rutin bulanan di luar kredit di atas Rp 1,75 juta. Wawancara terhadap responden dilakukan pada tanggal 6-12 September 2012 atau sekitar satu setengah minggu sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Dalam survei ini kami mengukur seberapa besar tingkat elektabilitas seorang kandidat, yang di wakili variabel Candidate Electability (CEl), dipengerahui oleh variabel-variabel Candidate Awareness (CA), seberapa kuat para pemilih mengenal kandidat. Candidate Image (CI), seberapa baik persepsi pemilih terhadap kandidat. CI diukur berdasar persepsi terhadap kualitas dan kapabilitas setiap kandidat. Candidate Engagement (CEng), mengukur seberapa kuat kedekatan hubungan antara pemilih dan kandidat.
Jokowi Unggul
Berdasarkan empat variabel tersebut terlihat jelas JOKOWI unggul di pemilih kelas menengah Jakarta. Dengan menggunakan skala 1-6, terlihat bahwa FOKE hanya bisa mendekati JOKOWI di variabel Candidate Awareness. Sementara di variabel yang lain, rentang nilai antara FOKE dan JOKOWI semakin tinggi.
Faktor kedekatan kandidat dengan pemilih menjadi faktor kunci kemenangan seorang kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta. Dari grafik di samping terlihat bahwa variabel Candidate Engagement memiliki pengaruh tertinggi (74,1%) terhadap tingkat elektabilitas (CEl) kandidat gubernur dibanding dua indikator lainnya. Bandingkan dengan variabel Candidate Awareness yang hanya berpengaruh 10,3% dan Candidate Image yang memberi pengaruh 15,6% terhadap tingkat elektabilitas seorang kandidat.
Artinya seorang kandidat tidak cukup memiliki popularitas dan citra yang baik, tapi untuk memenangkan Pilkada Jakarta, seorang kandidat harus mampu membangun hubungan kedekatan dengan pemilih. Dari data ini saja kita bisa menyimpulkan bahwa kunci keunggulan JOKOWI adalah dia lebih berhasil membangun simpati, kedekatan, dan hubungan yang hangat dengan pemilih dibandingkan dengan FOKE.
Semakin mendekati hari H pencoblosan ternyata kelas menengah Jakarta sudah memutuskan siapa yang akan dipilih nantinya, hanya 7,77% pemilih yang belum menentukan siapa yang akan dipilih pada pencoblosan nanti. Dan dari yang sudah menentukan pilihannya,51,81% akan memilih pasangan Joko Widodo/Basuki Tjahja Purnama dan 40,41% akan memilih Fauzi Bowo/Nachrowi Ramli.
Secara umum, persaingan antara FOKE dan JOKOWI di putaran kedua ini semakin ketat, terutama dalam memperebutkan suara kelas menengah. Masing-masing kandidat masih memiliki peluang untuk menang, perbedaan perolehan suara diprediksi akan tipis, pemenang Pilkada Jakarta ini ditentukan oleh seberapa besar kandidat mampu “membujuk” kelas menengah untuk datang ke TPS dan memilih mereka. Karena itu segala kemungkinan masih bisa terjadi sebelum pemilih memasuki TPS pada saat pemilihan berlangsung.
Hasanuddin, Chief Research Officer, Alfara
Yuswohady, Senior Researcher, Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS)
Penentuan siapa pemenang Pilkada DKI Jakarta tinggal menunggu waktu beberapa saat saja. Genderang perang kampanye dari dua kandidat yang lolos putaran dua, pasangan Fauzi Bowo/Nachrowi Ramli dan Joko Widodo/Basuki Tjahja Purnama, telah ditabuh. Berbagai upaya dilakukan oleh dua kandidat tersebut untuk meraih simpati dan suara sebanyak-sebanyaknya dari pemilih Jakarta.
Banyak pihak melihat bahwa Pilkada Jakarta penting dalam konteks kehidupan demokrasi di Indonesia, bukan saja posisi Jakarta sebagai ibukota negara, tapi juga karena Jakarta dianggap sebagai miniatur Indonesia. Selain itu karakter pemilih Jakarta juga penting dianalisis karena memiliki keunikan dibanding daerah lain, baik dari sisi demografis, ekonomi, maupun sosial budaya.
Didominasi Kelas Menengah
Berdasarkan Sensus Penduduk BPS 2010, penduduk Jakarta diperkirakan mencapai 9,6 juta jiwa. Berbeda dengan struktur demografi daerah lain, 73% penduduk Jakarta berusia di bawah 40 tahun. Katakanlah yang memiliki hak pilih adalah yang berusia 17 tahun ke atas, maka pemilih Pilkada DKI sangat didominasi kalangan muda, yaitu 65,6% untuk penduduk yang berusia 17-40 tahun.
Dari sisi sosial ekonomi, penduduk Jakarta juga berbeda dengan karakteristik penduduk Indonesia secara umum. Bila GDP (gross domestic product) perkapita penduduk Indonesia tahun 2011 sebesar US$ 3,542, maka GDP perkapita Jakarta sebesar kurang lebih US$ 10,000. Dengan GDP perkapita sedemikian besar, maka penduduk Jakarta secara strata sosial ekonomi didominasi oleh kelas menengah. Pemilih ini rasional, tidak ideologis, dan cenderung apatis terhadap politik.
Begitu halnya dengan etnis, penduduk Jakarta juga multi-etnik. Menurut hasil sensus penduduk BPS tahun 2000, etnis Jawa di Jakarta mencapai 35,16%, Betawi 27,65%, Sunda 15,27%, dan sisanya etnik lain-lain. Dengan komposisi etnis tersebut, Jakarta merupakan rumah bagi seluruh etnis di Indonesia. Mau mencari etnis apapun di Jakarta pasti kita akan bisa mendapatkannya.
Awareness, Image, Engagement
Menghadapi putaran kedua Pilkada DKI Jakarta ini, Alfara/Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS) melakukan studi terkait dengan aspirasi pemilih muda dan kelas menengah di Jakarta. Studi ini bersifat independen dan tidak dibiayai oleh pihak manapun. Studi ini dimaksudkan untuk menyuburkan tumbuh kembangnya keilmuan politik berbasis riset di Indonesia.
Survei ini tidak sekedar mengukur popularitas dan elektabilitas kandidat semata, tapi juga ingin menemukan alat ukur baru yang mampu memotret performa kandidat lebih mendalam. Lebih jauh lagi survei ini juga berupaya memotret aspirasi politik kelas menengah Jakarta, karena kita tahu bahwa pemegang suara mayoritas pemilih di Jakarta adalah kelas menengah.
Survei dilakukan terhadap 250 responden dengan margin of error 6,1%. Responden berusia 17-49 tahun dengan tingkat pengeluaran rutin bulanan di luar kredit di atas Rp 1,75 juta. Wawancara terhadap responden dilakukan pada tanggal 6-12 September 2012 atau sekitar satu setengah minggu sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Dalam survei ini kami mengukur seberapa besar tingkat elektabilitas seorang kandidat, yang di wakili variabel Candidate Electability (CEl), dipengerahui oleh variabel-variabel Candidate Awareness (CA), seberapa kuat para pemilih mengenal kandidat. Candidate Image (CI), seberapa baik persepsi pemilih terhadap kandidat. CI diukur berdasar persepsi terhadap kualitas dan kapabilitas setiap kandidat. Candidate Engagement (CEng), mengukur seberapa kuat kedekatan hubungan antara pemilih dan kandidat.
Jokowi Unggul
Berdasarkan empat variabel tersebut terlihat jelas JOKOWI unggul di pemilih kelas menengah Jakarta. Dengan menggunakan skala 1-6, terlihat bahwa FOKE hanya bisa mendekati JOKOWI di variabel Candidate Awareness. Sementara di variabel yang lain, rentang nilai antara FOKE dan JOKOWI semakin tinggi.
Faktor kedekatan kandidat dengan pemilih menjadi faktor kunci kemenangan seorang kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta. Dari grafik di samping terlihat bahwa variabel Candidate Engagement memiliki pengaruh tertinggi (74,1%) terhadap tingkat elektabilitas (CEl) kandidat gubernur dibanding dua indikator lainnya. Bandingkan dengan variabel Candidate Awareness yang hanya berpengaruh 10,3% dan Candidate Image yang memberi pengaruh 15,6% terhadap tingkat elektabilitas seorang kandidat.
Artinya seorang kandidat tidak cukup memiliki popularitas dan citra yang baik, tapi untuk memenangkan Pilkada Jakarta, seorang kandidat harus mampu membangun hubungan kedekatan dengan pemilih. Dari data ini saja kita bisa menyimpulkan bahwa kunci keunggulan JOKOWI adalah dia lebih berhasil membangun simpati, kedekatan, dan hubungan yang hangat dengan pemilih dibandingkan dengan FOKE.
Semakin mendekati hari H pencoblosan ternyata kelas menengah Jakarta sudah memutuskan siapa yang akan dipilih nantinya, hanya 7,77% pemilih yang belum menentukan siapa yang akan dipilih pada pencoblosan nanti. Dan dari yang sudah menentukan pilihannya,51,81% akan memilih pasangan Joko Widodo/Basuki Tjahja Purnama dan 40,41% akan memilih Fauzi Bowo/Nachrowi Ramli.
Secara umum, persaingan antara FOKE dan JOKOWI di putaran kedua ini semakin ketat, terutama dalam memperebutkan suara kelas menengah. Masing-masing kandidat masih memiliki peluang untuk menang, perbedaan perolehan suara diprediksi akan tipis, pemenang Pilkada Jakarta ini ditentukan oleh seberapa besar kandidat mampu “membujuk” kelas menengah untuk datang ke TPS dan memilih mereka. Karena itu segala kemungkinan masih bisa terjadi sebelum pemilih memasuki TPS pada saat pemilihan berlangsung.
Hasanuddin, Chief Research Officer, Alfara
Yuswohady, Senior Researcher, Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS)
0 komentar:
Posting Komentar