Kamis, 20 September 2012

1 Pengantar Komunikasi Politik







Akhir bulan januari 2012, SOPA dan PIPA pernah menjadi trending topic di twitter. SOPA atau kependekan dari  Stop Online Piracy Act dan  PIPA sendiri kependekan Protect Intellectual Property Actmerupakan Rancangan Undang-undang yang diajukan salah satu anggota parlemen Amerika Serikat guna membatasi kebebasan informasi yang tersebar melalui internet atau
secara halusnya merupakan semacam Rancangan undang-undang perlindungan terhadap karya cipta agar tidak ditiru dan dikopi paste begitu saja tanpa adanya izin atau transaksi dengan pemilik hak cipta tersebut. Di Indonesia sendiri semacam undang-undang hak cipta dan UU ITE. Munculnya SOPA dan PIPA mengundang reaksi keras dari para aktifis dunia maya dan lembaga/ yayasan enterprise sosial yang berkaitan dengan penyebaran konten seperti Wikipedia. Wikipedia berbahasa Inggris sempat spacenya ditutup dengan/ blank yang menunjukan keprihatinan lembaga penyedia informasi konten gratis global tersebut.
          Dalam konteks politik, munculnya SOPA dan PIPA sendiri tidak sekedar untuk “melindungi” para creator dunia maya yang karyanya digandakan oleh aktifis dunia maya lainnya tanpa tanpa seizing penulisnya. Para creator tersebut tentu saja adalah bagian dari warga suatu Negara yang memiliki hak untuk dilindungi oleh Negara sebagai pengendali kekuasaan. Akan tetapi dibalik itu semua, Negara sendiri perlu menjamin keamanan dirinya sendiri agar kekuasaan yang telah dimilikinya tidak digoyahkan oleh lembaga atau perorangan sehingga membayakan posisi duduknya yang nyaman. Hal ini pernah dilakukan oleh Julian Assange, pendiri wikileaks.com. Julian Assange bersama situsnya menyebarkan konten-konten yang dianggap rahasia oleh Negara di berbagai belahan dunia. Namun setelah Julian Assange dipenjarakan, wikileaks.com tidak menunjukan kembali gerigi tajamnya.
Dalam konteks komunikasi, baik Julian Assange atau wikileaks.com sendiri adalah sebagai komunikator yang melakukan penyebaran pesan-pesan politik karena membahayakan posisi seseorang/ lembaga/ negara tertentu. Tidak sedikit rahasia Negara yang berkaitan dengan Negara “penjajah” dibocorkan oleh wikileaks.com. Salah satu dokumen yang dibocorkan adalah tentang kebohongan yang dilakukan oleh Amerika berkaitan dengan senjata biologis yang dimiliki oleh Irak bahwa sebenarnya hal tersebut adalah sebagai siasat saja, Karena pada dasarnya senjata itu memang tidak pernah ditemukan oleh AS.
Jika pesan-pesan yang disebarkan oleh wikileaks tersebut mampu membentuk opini public, maka kemungkinan besar terpaan komunikasi tersebut akan merubah persepsi khalayak sehingga mengubah sikap dan perilaku khalayak terhadap Negara dan pemerintah. Jika hal ini terjadi tentu saja sangat berbahaya bagi Negara ataupun pemerintah. Posisi seseorang/ lembaga/ atau Negara bisa jatuh baik secara citra atau pun secara posisi, karena public sudah tidak percaya.
Merujuk pada konteks komunikasi politik, berkaitan dengan wacana di atas maka ada beberapa dimensi yang terkait antara komunikasi dan politik. Pertama adanya keterlibatan unsure-unsur komunikasi seperti sumber, pesan, media, penerima, tanggapan balik, dan lingkungan. Kedua adanya keterlibatan unsur-unsur dari politik yaitu institusi, kekuasaan, dan kebijakan. Institusi yang terlibat adalah saat dokumen yang dibocorkan tersebut merupakan milik dari sebuah lembaga sementara, lembaga merupakan media perorangan atau kelompok dalam menjalan kekuasaannya sedangkan pesan/ isi dokumen merupakan kebijakan yang telah dibuat oleh lembaga tersebut.
Dengan demikian jika dikaji berdasarkan persfektif komunikasi politik, RUU—SOPA dan PIPA merupakan sebagai salah satu cara penguasa dalam mengendalikan warganya agar kekuasaannya tidak terancam.


Definisi Komunikasi Politik
Menurut Hafied Cangara (2011), mendefinisikan Komunikasi Politik tidak semudah membicarakan gerakan politik. Kesulitan itu muncul karena ada dua konsep yang  mengusung disiplin ilmu ini, yakni konsep komunikasi dan konsep politik. Kedua disiplin ilmu ini seringkali memunculkan masalah saat orang membicarakan konsep komunikasi politik. Jika orang komunikasi yang membicarakannya maka disiplin komunikasinya akan dominan, namun jika orang politik yang membicarakannya maka yang dominan adalah disiplin politiknya.
Kajian komunikasi politik awanya berawal pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Propaganda sendiri dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan seperti perbuatan amoral.  Namun setelah Harold D. Laswell menulis Desertasi Doktornya berjudul Propaganda technique in the Word War (1927) penguasa saat itu yang menghadapi perang dunia II menjadikan propaganda sebagai bagian dari strategi komunikasi politiknya. Ilmuwan seperti Laswell, Schramm dll dijadikan sebagai salah satu konsultannya.
           Komunikasi politik pada dasarnya merupakan sebuah  studi interdisipliner yang dibangun atas berbagai disiplin terutama ilmu komunikasi dan ilmu politik. Menurut Lucian Pye (Cangara, 2011), antara komunikasi dan politik memiliki hubungan yang erat dan istimewa karena berada dalam domain politik dengan menempatkan komunikasi pada posisi sangat pundamental. Galnoor mengatakan bahwa  bahwa tanpa adanya komunikasi, tidak akan ada usaha bersama, dengan demikian tidak akan ada politik. Dahlan (1999) mengemukakan bahwa komunikasi politik adalah suatu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik.
Meadow dalam Nimmo (2004) membuat definisi bahwa “political communication refers to any exchange of symbol or massages that to significant extent have been shaped by or have consequences for political system”.Meadow memberi tekanan bahwa symbol-simbol atau pesan yang disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap sistem politik. Sementara McNair (Cangara, 2011) menyatakan bahwa komunikasi politik adalah murni membicarakan tentang alokasi sumber daya public yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki kewenangan untuk memberikan kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang aturan, apakah itu legislative atua eksekutif, serta sanksi-sanksi, apakah itu dalam bentuk hadiah atau benda. Menurut Doris Graber (Cangara, 2011) menyatakan bahwa komunikasi politik tidak hanya retorika, tetapi juga mencakup symbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh serta tindakan-tindakan politik misalnya boikot, protes dan unjuk rasa. Dengan demikian maka komunikasi politik dapat diartikan sebagai proses penciptaan symbol dan lambang yang berisi pesan  politik dari seorang, kelompok, atau lembaga kepada orang lain, kelompok atau lembaga untuk membuka wawasan atau cara berpikir, sehingga membentuk sikap dan perilaku tertentu seperti yang ditargetkan. Oleh karena itu komunikasi politik berimplikasi dan memiliki konsekuensi  pada aktivitas politik.
Adapun hakikat komunikasi politik harus berimplikasi pada kepentingan bangsa dan Negara bukan kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. Karena pada dasarnya cita-cita dari suatu politik seperti diungkapkan oleh Cangara adalah untuk menciptakan individu yang memiliki komitmen untuk menjadi negarawan yang dilandasi software keikhlasan dan kejujuran dan hardware untuk membangun sumber daya manusia.
Sebagai sebuah aktifitas, komunikasi politik memiliki fungsi strukturan dan cultural seperti diungkapkan oleh Sumarno (1993) fungsi komunikasi politik dapat dibedakan kepada dua bagian. Pertama, fungsi komunikasi politik yang berada pada struktur pemerintah (suprastruktur politik) atau disebut pula dengan istilah the governmental political sphere, berisikan informasi yang menyangkut kepada seluruh kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Isi komunikasi ditujukan kepada upaya untuk mewujudkan loyalitas dan integritas nasional untuk mencapai tujuan negara yang lebih luas. Kedua, fungsi yang berada pada struktur masyarakat (infrastruktur politik) yang disebut pula dengan istilah the socio political sphere, yaitu sebagai agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, dimana kedua fungsi tersebut sebagai proses komunikasi yang berlangsung di antara kelompok asosiasi dan proses penyampaian atau penyaluran isi komunikasi terhadap pemerintah dari hasil agregasi dan artikulasi tersebut.
Sementara itu menurut McNair dan Goran (Cangara, 2011) fungsi komunikasi politik adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha-usaha yang dilakukan lembaga politik maupun dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat.
2.    Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program dan tujuan lembaga politik.
3.    Memberi motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai.
4.    Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat, sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini public.
5.    Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara.
6.    Menjadi hiburan masyarakat sebagai pesta demokrasi dengan menampilkan para juru kampanye, artis dan para komentator atau pengamat politik.
7.    Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional.
8.    Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi  untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap  gerakan reformasi dan demokratisasi.
9.    Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui  siaran berita, agenda setting, maupun komentar-komentar politik.
10.  Menjadi Watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good governance yang transparan dan akuntabel.

Kajian komunikasi politik pada tingkat teknis komunikasi menyangkut kiat, bagaimana membuat isu, rumor, angle camera/ framing dll. Pada tingkat terapan komunikasi berkembang dari tingkat teori ke praktik seperti penggunaan analisis isi untuk mengukur efektifitas komunikasi politik, survey politik dll. Sedangkan pada tingkat teoritis, komunikasi politik menguji  kesahihan teori komunikasi pada tingkat politik.

Referensi:
Hafied Cangara. 2011. Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Press.
Dan Nimmo. 2006. Komunikasi Politik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Silih Agung W. 2011. Political Branding. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

1 komentar:

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates