Siapa sangka bahwa pilihan menjadi negara demokrasi seperti buah simalakama. Dimakan mati, tidak dimakan juga mati. Dijalankan merepotkan, tidak dijalankan menjadi gunjingan internasional. Apalagi jika versi demokrasinya tidak kompatibel dengan yang beredar di pasaran global dunia.
Sejak amademen UUD 1945, Indonesia menganut demokrasi dengan pemilihan langs
ung, baik di tingkat nasional (Presiden/Wapres), maupun propinsi (Gubernur/Wagub) dan Kabupaten (Bupati/Wabup) atau Kota (Walikota/Wakil). Pilihan ini tentu saja disambut gembira di tengah euphoria politik setelah rezim Soeharto lengser. Perasaan takut menyuarakan pendapat serta merta hilang dengan hadirnya era baru reformasi yang diikuti dengan perombakan besar-besar sistem politik di Indonesia. Luar biasa….
Partai politik seperti mendapat tempat untuk beraksi. Mereka yang merasa punya pengaruh kemudian mendirikan partai. Jika kalah, buat lagi saja yang baru. Mirip sebuah permainan saja. Kutu loncat pengabdi kekuasaan beterbangan kesana kemari, tidak cocok di satu partai pindah ke partai lain. Tidak ada masalah.
Namun dibalik gegap gempita demokrasi pilihan langsung, tersembunyi labirin gelap permainan uang yang sepertinya tidak habis-habisnya terjadi di setiap event pilkada. Bahkan di tingkat nasional pun, untuk persiapan menjelang Pemilu, seolah semua energi diset dengan MODE SEDOT. Energi dengan mode ini akan menempel di banyak tempat untuk menyedot berbagai sumber-sumber dana yang nantinya digunakan untuk membiayai mesin politik. Perilaku koruptif menjadi seperti musim yang tidak ada akhirnya.
Pejabat berkolusi dengan pengusaha, politisi berkolusi dengan pejabat, begitu juga politisi berkolusi dengan pengusaha. Seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Setiap aktor menjadi pendukung bagi aktor lainnya, saling bekerja sama dengan energi MODE SEDOT yang sudah dipasang. Besarnya dana yang diperlukan untuk membiayai partai dan aktifitas politiknya dalam Pemilu atau Pilkada, bisa jadi merupakan pemicu perilaku negatif yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang. Sudah sering kita dengar, seorang calon didukung oleh pengusaha yang mau mensuppot dana dengan iming-iming proyek jika nantinya terpilih. Politik balas jasa katanya. Itu sih biasa, gak usah heran.
Jadi, dimana akar masalah perilaku korupsi di Indonesia? Betulkah pilihan demokrasi yang kita anut ikut menyumbang tumbuhnya perilaku tersebut?
Partai politik seperti mendapat tempat untuk beraksi. Mereka yang merasa punya pengaruh kemudian mendirikan partai. Jika kalah, buat lagi saja yang baru. Mirip sebuah permainan saja. Kutu loncat pengabdi kekuasaan beterbangan kesana kemari, tidak cocok di satu partai pindah ke partai lain. Tidak ada masalah.
Namun dibalik gegap gempita demokrasi pilihan langsung, tersembunyi labirin gelap permainan uang yang sepertinya tidak habis-habisnya terjadi di setiap event pilkada. Bahkan di tingkat nasional pun, untuk persiapan menjelang Pemilu, seolah semua energi diset dengan MODE SEDOT. Energi dengan mode ini akan menempel di banyak tempat untuk menyedot berbagai sumber-sumber dana yang nantinya digunakan untuk membiayai mesin politik. Perilaku koruptif menjadi seperti musim yang tidak ada akhirnya.
Pejabat berkolusi dengan pengusaha, politisi berkolusi dengan pejabat, begitu juga politisi berkolusi dengan pengusaha. Seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Setiap aktor menjadi pendukung bagi aktor lainnya, saling bekerja sama dengan energi MODE SEDOT yang sudah dipasang. Besarnya dana yang diperlukan untuk membiayai partai dan aktifitas politiknya dalam Pemilu atau Pilkada, bisa jadi merupakan pemicu perilaku negatif yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang. Sudah sering kita dengar, seorang calon didukung oleh pengusaha yang mau mensuppot dana dengan iming-iming proyek jika nantinya terpilih. Politik balas jasa katanya. Itu sih biasa, gak usah heran.
Jadi, dimana akar masalah perilaku korupsi di Indonesia? Betulkah pilihan demokrasi yang kita anut ikut menyumbang tumbuhnya perilaku tersebut?
baik di tingkat nasional (Presiden/Wapres), maupun propinsi (Gubernur/Wagub) dan Kabupaten
BalasHapusBandar togel Hongkong