Sejak 1847, di usianya yang 38 tahun, Abraham Lincoln terpilih jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika selama tiga kali berturut-turut. Oleh karena itu, pada 1858 Lincoln berniat mengikuti pemilihan Senator Amerika. Lazimnya adat kebiasaan Amerika ketika itu, Lincoln dan lawan politiknya, Stephen A. Douglas, yang juga mengincar kursi senator, harus mengadakan perjalanan bersama berkeliling distrik untuk melakukan debat publik. Mereka naik kereta kuda milik Douglas.
Ketika bertemu dengan sekelompok petani, Lincoln berkata, “Saya terlalu miskin untuk memiliki kereta kuda sendiri. Tapi sahabatku ini sudah berbaik hati mengajak saya naik kereta miliknya. Saya ingin Anda semua memilih saya sebagai senator. Tapi, apabila tidak, pilihlah lawan saya ini, karena dia adalah seorang lelaki yang baik.”
Kenyataannya, rakyat memang memilih Douglas sebagai Senator. Dan Lincoln secara ksatria menerima kekalahannya seraya mengucapkan selamat kepada lawan politiknya. Kekalahan dari Douglas bukanlah akhir karier politik Lincoln. Sebab, sejak berkeliling distrik melakukan debat publik dengan Douglas itulah Lincoln dikenal luas sebagai politisi ulung. Hal itu membuat Lincoln didaulat sebagai calon Presiden Amerika dari Partai Republik. Dan pada 1860, Lincoln terpilih jadi Presiden Amerika yang ke-16.
Entah kenapa, cerita tentang Lincoln itulah yang pertama kali muncul dari ‘bagasi’ ingatan ketika saya membaca sejumlah berita on-line tentang bagaimana Bang Foke menyikapi hasil quick-count beberapa lembaga survei, bagaimana Gubernur yang selama ini dicitrakan arogan secara ksatria menerima kekalahan seraya menelepon Jokowi untuk menyampaikan ucapan selamat. Perlu waktu cukup lama bagi saya untuk bisa memahami kenyataan yang membuat hati terharu, bahkan tergetar. Sambil berusaha menghapus tinta di ujung kelingking, saya menikmati perasaan bangga karena tadi pagi telah mencoblos Foke-Nara.
Bagi saya, Pilgub DKI 2012 putaran kedua ini merupakan hari bersejarah. Sebab, pada hari inilah untuk yang pertama kalinya saya tidak golput. Dan keputusan untuk tidak golput itu terjadi begitu saja: pagi jam sembilan dibangunkan istri, disuruh mandi air hangat, baju sudah disiapkan, setelah rapi diminta mengantar istri, ternyata diajak ke TPS. Para tetangga yang sudah bertahun-tahun paham bahwa saya golput, menyambut kedatangan saya dengan tepuk tangan. Agak malu, sebetulnya. Kalau tidak ngeri diomelin istri, mungkin saya sudah menyelinap pergi.
Setelah mencoblos, sepanjang pagi hingga siang saya jadi keasyikan berkeliling di beberapa TPS layaknya petugas kontrol. Sesekali saya kirim SMS ke teman yang secaraprofesional terlibat di lingkar dalam Foke-Nara. Saya informasikan beberapa TPS didominasi relawan Foke-Nara sedangkan dari pihak Jokowi-Ahok hanya menghadirkan dua saksi berkemeja kotak-kotak.
Melihat saya yang tumben-tumbenan nongol di TPS, beberapa tetangga iseng bertanya saya milih siapa? Saya jawab Foke. Mengapa Foke? Karena ini dan itu, terutama karena tahun 2011 lalu, saya diminta teman ikutan menyosialisasikan program Pemprov DKI (bukan kampanye Foke), sehingga saya lumayan banyak mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan hingga 30 tahun ke depan oleh Gubernur DKI.
Waktu itu, teman menugasi hal-hal yang sesuai dengan ‘kebisaan’ saya yang selama ini dianggap “lebih fasih” dalam hal berkomunikasi dengan masyarakat lapisan menengah ke bawah. Baiklah, saya senang mengerjakannya. Maka, lagu Gubenur yang dulu, tahun 2000-an, saya bikin dan dinyanyikan Mandra untuk mengkritik Jakarta di masa Sutiyoso, saya “daur ulang”. Musiknya dibikin baru, dipercantik petikan gitar Mus Mujiono. Syairnya juga saya ‘reparasi’ supaya bisa bercerita tentang Banjir Kanal Timur yang dulu belum ada, juga taman kota yang di zaman Sutiyoso juga belum dibikin, juga tarif Puskesmas yang lebih murah dari pulsa hape, jalan bertingkat yang baru dibangun dan lain sebagainya. Penyanyinya tetap Mandra.
Saya juga ditugasi “menyederhanakan” Jakarta Megacities buatan NatGeo yang “dahsyat” itu dalam bentuk leaflet berformat tabloid 8 halaman. Tentu saja tata visualnyaatraktif, dengan “bahasa” yang “cair”, popular lagi mudah dimengerti bahkan oleh anak usia 11 tahun. Ada tiga judul tabloid, salah satunya Macet Pasti Berlalu.
Ketika musim kampanye tiba, saya sudah tidak ikutan lagi karena harus ‘merantau’ ke Bangkalan, Madura. Lagi pula, setelah melibatkan elite partai, elite ormas, para pakar/akademisi, konsultan media/hukum/politik, yang diperlukan adalah bahasa dan pola komunikasi yang elitis, analitis dan politis. Sedangkan saya hanya fasih berkomunikasi dengan masyarakat lapisan menengah ke bawah.
***
Ada hal lain yang membuat saya terkesan pada Bang Foke. Pada Pilgub 2007, ketika Rano Karno niat ikut Pilgub DKI, saya diminta mengawal tim media. Setelah melewati pelbagai “negoisasi” dengan sejumlah Calon Gubernur yang ingin menyunting Rano sebagai Wakil Gubernur, akhirnya terjalin komunikasi dengan Bang Foke yang juga maju sebagai Cagub. Komunikasi semakin intens ketika ketua salah satu lembaga survei nasional yang jadi konsultan politik Bang Foke, menyiapkan MOU bahwa Rano positif jadi Wagub Bang Foke.
Tapi, meskipun MOU tersebut akhirnya tidak terwujud, ada hal lain yang membuat saya respek pada Bang Foke. Dalam obrolan santai di rumah Rano, Bang Foke bilang bahwa dirinya tidak khawatir kalah atau menang. Yang dia khawatirkan adalah kalau Jakartadipimpin Gubernur yang tidak memahami dan tidak mencintai Jakarta. Kekhawatiran seperti itu memang bisa dinilai sebagai bentuk arogansi “hanya gue” yang paling paham Jakarta dan lain sebagainya. Tapi, setelah puluhan tahun mengabdikan tenaga dan pikiran kepada Jakarta, hemat saya, kekhawatiran tersebut lebih saya pahami sebagai: bagi Bang Foke, Jakarta adalah segalanya.
Saya pikir, itu alasan yang cukup rasional kenapa saya memilih Bang Foke. Bagi saya, pilgub putaran kedua adalah Kekalahan Terhormat Gubernur Terhormat. Dan saya tidak merasa telah salah memilih.
***
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud meremehkan atau menganggap enteng Mas Jokowi. Saya hanya belum beruntung bisa mengetahui visi, misi, program atau rencana Mas Jokowi untuk Jakarta. Mungkin karena saya alpa atau bisa juga karena Mas Jokowi termasuk ujug-ujug dicalonkan beberapa bulan sebelum Pilgub, sehingga tentunya belum sempat dan memang tidak cukup waktu untuk menyusun program kerja yang sempurna.
Sekadar info: seperti Mas Jokowi, saya juga ‘orang Jawa’ tapi sudah ber-KTP Jakarta sejak tahun 1975. Saya bersyukur selama 35 tahun lebih hidup di lingkungan warga Betawi asli. Dengan demikian saya bisa menulis lebih dari seratus skenario serial sinetron berlatar budaya Betawi—salah satu judul serial sinetron berlatar budaya Betawi yang skenarionya saya bikin pernah jadi serial tv sangat terkenal, bahkan fenomenal, dan membuat saya sekali-kalinya itulah bisa piknik gratis keliling Eropa.
Info lagi: pencipta lagu-lagu Betawi yang dinyanyikan Benyamin S dan Ida Royani dan sampai sekarang masih ngetop, juga ‘orang Jawa’. Namanya Mas Joko. Saya pikir, Mas Jokowi juga termasuk ‘orang Jawa’ yang jauh lebih mampu berbuat lebih besar untuk Jakarta.
Wabil khusus kepada Bang Ahok, gaya bicara dan retorika songong anggota dewan yang kita sama-sama tahu sering bikin perut mual, tampaknya bukanlah style idealpejabat Wakil Gubernur Jakarta. Sebagai ‘orang Cina’, saya yakin Bang Ahok bisa lebih bijaksana.
Kalau saya menyebut Bang Ahok ‘orang Cina’, jangan buru-buru disalahpahami sebagai SARA. Saya bukan dan demi Allah tidak akan pernah berwatak rasis! Kalau masih belum yakin juga, silakan mampir ke rumah saya. Sebab, setelah jadi istri saya selama 35 tahun, istri saya tetap saja masih ‘orang Cina’. Dua anak saya, perempuan satu lelaki satu, apa boleh buat, mirip ‘orang Cina’. Yang dua lagi mirip ‘orang Jawa’. Ketika terjadi kerusuhan tahun 1998, anak perempuan saya yang waktu itu masih kuliah di UI, Depok, nyaris kena swiping di biskota. Untungnya saya kawal. Tapi sejak kejadian itu anak saya mogok kuliah sampai kondisi aman.
Semuanya itu tidak membuat kami sekeluarga merasa gentar atau gusar karena jadi ‘orang Cina’ sekaligus ‘orang Jawa’. Semuanya itu hanya membuat kami menjadi lebih peduli menjaga perasaan orang lain, menjadi lebih mudah berdamai dengan perasaan kami sendiri. Dan selebihnya baik-baik saja, asyik-asyik saja.
0 komentar:
Posting Komentar