Dari zaman dulu, jauh sebelum Pemilu legislatif, Pemilu kepala daerah dan
Pemilu presiden di Indonesia menggunakan tata cara pemilihan secara
langsung, Pemilihan kepala desa (Pilkades) telah
menggunakan sistem itu.
Mekanisme itu tetap dipertahankan
masyarakat hingga kini. Nilai tradisional dalam Pilkades di sebagian
desa pun belum diubah.
Kondusifitas pelaksanaan Pilkades mungkin bisa menjadi masukan untuk Pemilu mendatang.
Pasalnya, dengan dana yang terbatas, panitia mampu menyempurnakan
momentum penting bagi seluruh warga dengan aman dan tentram. Tingkat
kehadiran pemilih juga memuaskan, meski tidak ada fatwa haram yang
mendesak warga untuk datang ke tempat pemungutan suara.
I. SELAYANG PANDANG PILKADES KITA
Desa, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi (Pemusatan)
permukiman di area perdesaan (Rural) yang dipimpin oleh seorang Kepala desa.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesa Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 28 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala desa
disebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dibentuk
dalam Sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Kabupaten
Berbicara tentang desa, maka kita akan langsung tertuju kepada
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang terdiri dari Pemerintahan Desa (Kepala
Desa sebagai pemimpin dan dibantu perangkatnya) dan Badan Permusyawaratan Desa
yang mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistim Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Bab I Ketentuan umum, Pasal 1 Ayat (9) Perda
Kabupaten Cilacap Nomor 28 Tahun 2008)
Kepala Desa adalah Kepala Pemerintah Desa. Tugasnya menyelenggarakan
urusan
- Pemerintahan
- Pembangunan
- Kemasyarakatan.
Kepala Desa adalah pemimpin yang mulai bangun tidur sampai tidur lagi
langsung terpantau, terawasi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat terbawah.
Untuk itu maka seorang Kepala Desa harus memiliki kecerdasan sosial yang tinggi dan
kaya empati.
Apabila Pembangunan Nasional dititik beratkan kepada Pembangunan Ekonomi
Masyarakat Desa maka seorang Kepala Desa juga harus mampu menjadi bapak dari
sebuah sistem ekonomi pedesaan. Ia harus menguasai betul potensi ekonomi desa,
baik potensi produksi maupun potensi pasar ( Jalur Distribusi).
Bertahun – tahun sudah kita melewati pemilihan Kepala desa. Prosesi ini
membutuhkan banyak biaya, ramai, semarak, penuh trik dan intrik, strategi, siasat dan
tipu daya. Berbagai cara dan upaya ditempuh untuk meraih jabatan Kepala desa, mulai
dari tebar pesona, penyusunan Tim Sukses, penggalangan dukungan, sampai
melibatkan pihak ke tiga yaitu para dukun, orang pintar bahkan kyai. Tim sukses
berbondong - bondong mendatangi dukun dan orang pintar untuk meminta petunjuk,
amalan dan mantra - mantra dalam rangka meminta bantuan jin atau sejenisnya agar
bisa memuluskan keinginannya. Sebagai manusia rasional yang kedudukannya lebih
mulia dan lebih tinggi dibanding makhluk – makhluk lain maka masih layakkah kita
menghambakan diri pada makhluk – makhluk tersebut?
Yang lebih miris lagi adalah keterlibatan para kyai dalam aksi dukung mendukung,
menggiring jama’ah dalam perang wirid dan do’a. Bahkan banyak kyai
yang menggunakan ayat – ayat tidak pada tempatnya dan hanya akal-akalan saja untuk
menjustifikasi bahwa si anu lebih layak dipilih, layak didukung dan lain sebagainya.
Padahal kenyataannya jauh panggang dari api.
Memilih pemimpin seperti memilih Imam dalam Sholat, ia haruslah cakap, jujur,
adil, amanah, dan memiliki empati yang tinggi terhadap penderitaan rakyat. Ia juga
harus cerdas baik Intelejensi, spiritual dan emosionalnya.
Yang tidak kalah menarik adalah keterlibatan para penjudi. Para penjudi ini
ternyata tidak hanya main tebak – tebakan tokek dan untung – untungan saja. Mereka
ikut bermain dalam penggiringan suara. Kadang mereka ikut kampanye untuk calon
tertentu sesuai dengan perhitungan versi kemenangan pertaruhan mereka. Tidak jarang
mereka memborong kartu pemilih agar si pemilih tidak datang ke bilik suara dan
sebagainya .
Naif sekali rasanya, sebuah kegiatan pemilihan pemimpin yang seharusnya
mengutamakan kejernihan hati, justru dipengaruhi oleh permainan para penjudi.
Dampak akhir dari proses pemilihan model begini adalah perpecahan antar
pendukung, antar tim sukses hingga antar saudara. Kepala Desa terpilih yang tentu
saja telah menghabiskan banyak biaya tidak akan all out membangun desanya tapi
mencari peluang untuk sesegera mungkin mengembalikan modalnya. Nah, kalau sudah
begini apa mau dibiarkan saja …
II. COBA KITA RENUNGKAN
”Desaku yang kucinta.. pujaan hatiku.. tempat ayah dan bunda .. dan handai
taulanku.. tak mudah kulupakan.. tak mudah bercerai.. selalu kurindukan ..desaku yang
permai…”
Lagu indah ini janganlah menjadi bait – bait tanpa makna kalau setiap pilkades digelar
maka sesudahnya terjadi adu jotos antar pendukung, pembakaran balai desa bahkan
sampai ke meja hijau.
Beberapa permasalahan yang patut diinventarisir untuk selanjutnya kita renungkan
bersama adalah :
1. Anggapan bahwa jabatan Kepala desa adalah wahyu keprabon di mana tidak
sembarangan orang dapat merengkuhnya.
2. Jabatan Kepala Desa dianggap sangat sakral, terhormat, dan menjadi kebanggaan
turun temurun sehingga seseorang siap jatuh miskin sesudahnya asalkan pernah
jadi Kepala Desa. Oleh sebab itu perhitungan matematika untung – rugi dilupakan
demi ambisi tersebut.
3. Anggapan bahwa jabatan Kepala Desa bisa digunakan untuk mencari penghasilan tambahan di
luar penghasilan resmi Kepala desa diantaranya adalah ketika ada momentum
Pemilu Legislatif, Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pemilihan Umum Presiden atau
ketika ada proyek – proyek Pemerintah.
Dari tiga hal di atas maka jabatan Kepala desa menjadi mahal.
III. TUGAS MULIA BPD
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki hak mengajukan rancangan
Peraturan desa dan menyampaikan usul atau pendapat. Maka bila dianggap perlu demi
mewujudkan Pilkades yang lebih baik maka BPD berhak mengusulkan rancangan
Peraturan Desa yang terbaik dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan kepala desa
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah di atasnya (Leg Superiory derogat lege
inferiory).
Yang perlu menjadi perhatian utama adalah bagaimana formulasinya agar
seorang calon kepala desa tidak mengeluarkan biaya tinggi dalam pencalonannya.
Biaya tinggi dikeluarkan seorang calon kepala desa karena biasanya biaya
penyelenggaraan pemilihan mulai dari administrasi, kertas suara, logistik, honor – honor
panitia sampai uang saku petugas dll, sebagian besar ditanggung oleh calon kepala
desa. Belum lagi biaya – biaya insidentil lainnya. Ditambah lagi dengan belum adanya
seperangkat aturan yang dibuat untuk membatasi ruang gerak calon kepala desa dan
tim sukses dalam melancarkan aksi money politik ataupun serangan fajar.
Maka yang bisa dilakukan oleh BPD adalah :
1. Melakukan sosialisasi bahwa jabatan Kepala Desa adalah biasa – biasa saja dan
untuk itu maka pentingnya biaya rendah dalam seluruh proses pencalonan dan
pemilihan kepala desa.
2. Merumuskan kemungkinan biaya Pilkades ditanggung oleh Desa (Misal : dari
tanah bengkok kesejahteraan desa, yang pada nantinya bisa diganti secara
bertahap oleh Kepala Desa terpilih dengan bengkoknya), atau tetap
menggunakan dana itu saja;
3. Mendorong segenap warga masyarakat yang memenuhi syarat untuk
berbondong-bondong ikut mendaftarkan diri dalam meramaikan bursa calkades
ini sehingga diharapkan calon kepala desa jumlahnya banyak. Hal ini bisa
menekan biaya per individu calon kepala desa. Misalnya ada 8 dusun
atau pedukuhan dalam suatu desa, setiap dusun mengirimkan 2 orang calon
maka akan ada 16 calon. Apabila biaya pilkades mencapai angka Rp.32 juta,
maka setiap calon hanya membayar Rp.2 juta saja. Jika di anggap perlu ada dana
lain baik APBD Desa, Swadaya Masyarakat maupun APBD.
4. Menyusun mekanisme Pilkades dengan memperhatikan beberapa hal :
a. Membatasi ruang gerak para calon kepala desa dan tim sukses dalam
melakukan money politik atau serangan fajar. Langkah ini bisa ditempuh dengan
melakukan karantina kepada seluruh Calon Kepala Desa pada suatu tempat
rahasia dan dilarang berhubungan dengan siapapun dan dengan cara apapun
dalam kurun waktu beberapa minggu dan diijinkan kembali ke desa hanya
untuk menyelesaikan administrasi dan tahapan – tahapan, mulai dari
pendaftaran, melengkapi persyaratan administrasi, kampanye visi - misi,
hingga saat pencoblosan.
b. Melakukan verifikasi dan pengawasan terhadap Tim sukses agar fair play dan
melakukan kampanye dengan tangan kosong sebatas memaparkan visi –
misi calon yang didukungnya.
Agar bisa mewujudkan gagasan di atas, BPD agar melakukan koordinasi dengan
Pemerintahan Desa, Pihak Kecamatan dan Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat
Daerah Kabupaten dan melakukan Kajian Hukum atau Peraturan Perundangundangan.
Apabila bisa dilaksanakan maka seluruh elemen masyarakat agar ikut
handarbeni pilkades ini dengan cara aktif mengawasi seluruh tahapan pilkades, para
tokoh masyarakat juga bisa melakukan puasa batin, tidak mudah membuat statemen
dan melakukan aksi dukung mendukung sehingga ikut memperkeruh suasana,
sedangkan para pemuda diharapkan bisa melakukan pemblokiran terhadap seluruh
wilayah desa dari oknum – oknum yang dicurigai bisa memperkeruh suasana.
Hasil akhir dari pilkades murah, meriah dan penuh berkah ini adalah Kepala Desa
yang tidak memikul banyak hutang sehingga bisa menjalankan roda pemerintahan dan
bekerja dengan baik dan di mata masyarakat dia dipandang bermartabat.
Demikian semoga bermanfaat.
Aamiin.
dari berbagai sumber:http://sosbud.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar