Jumat, 27 Juli 2012

JAYA SUPRANA:
 MASUK NERAKA YA TIDAK APA-APA
Source: http://www.indomedia.com/intisari/1999/Juni/suprana.htm
Ia manusia multidimensi, bersegi-segi. Minatnya luas, keterampilannya macam-macam. Dengan filosofi menunggu mati, ia malah tak pernah merasa sukses. Mantan dirut perusahaan jamu ini masih saja asyik berburu kekeliruan dalam setiap gerak kehidupan bangsa ini. Buku Kaleidoskopi Kelirumologi karangannya menjadi tapak salah satu dimensi kehidupannya. Ia mengaku bertahan hidup karena “minum jamu cap humor”.
Suatu ketika di tahun 1989, sebuah koran nasional meminta Jaya Suprana menulis soal kesalahkaprahan guna menyambut Bulan Bahasa. Maka ditulislah tema itu dengan baik. Pada akhir tulisan ia memasang tebakan dengan kalimat, “Didalam kalimat ini ada tiga kekeliliruan“. Pembaca diminta mencari ketiga kekeliruan itu.
Agaknya, korektor surat kabar itu tidak membaca dengan saksama sehingga kalimat tebakan yang sengaja dikelirukan oleh si penulis itu malah diperbaiki. Walhasil, permintaan pada pembaca untuk mencari kekeliruan itu kehilangan maknanya. “Wong gak ada yang keliru kok disuruh mencari kekeliruannya,” gelak lelaki bertubuh subur ini setelah membaca artikelnya ketika itu.
Segera ia menelepon redaksi. Ia lalu diminta meralat tulisannya lewat rubrik “Surat Pembaca”. Berhubung mendesak, surat pembaca itu esok paginya langsung dimuat. Tapi celaka lagi. Korektor rupanya belum sadar kalau kekeliruan itu memang disengaja. Si korektor pun dengan “sukses” menjalankan tugasnya, mengoreksi kekeliruan yang seharusnya benar itu. Jadinya, “Ya, salah lagi,” katanya tanpa tergelak.
Akhirnya, lelaki kelahiran Denpasar, 27 Januari 1949, ini berkirim surat lagi. Kali ini dengan pesan, “Bung Redaksi, mohon korektor Anda jangan mencampuri tulisan ini. Pokoknya, tulisan ini dimuat apa adanya.” Surat seperti yang dia inginkan pun dimuat juga. Karena orang (mungkin) sudah melupakan esensi artikel karangannya itu, gereget tulisannya jadi hilang.
Namun, insiden itu ada buntutnya. Tiga bulan setelah kasus lucu itu, harian nasional itu mengalami banyak kekeliruan! “Mungkin korektornya takut bikin kekeliruan lagi, ha-ha-ha …,” katanya terbahak. Kali ini ia geli betul.
Tak mengerti fitness
Peristiwa itulah yang membuat otak Jaya Suprana berakrobat. “Ternyata kita itu hidup dalam kekeliruan, tetapi tidak sadar,” ujarnya lirih. Garis batas antara keliru dan benar itu hampir tidak ada. Dari situlah lahir istilah kelirumologi, sebuah kajian yang mencoba mempelajari kekeliruan. Jadilah Jaya mengobok-obok pelbagai media informasi untuk mencari kekeliruan dan kesalahkaprahan yang telah dilakukan orang.
Apa perlunya membedah kekeliruan? “Tujuannya untuk menelanjangi superioritas umat manusia. Bukan untuk berputus asa, tetapi untuk bangkit kembali,” jawabnya seperti dikutip majalah Tiras.
Maka dengan bobot tubuhnya yang pasti di atas ukuran ideal (persisnya tidak tahu sebab tidak pernah menimbang), Jaya menohok ruang kesadaran manusia. Apa yang selama ini dianggap lumrah, ternyata keliru. Sadarkah kita, semboyan yang kita terima sejak kecil – mens sana in corpore sano – sebenarnya keliru (di samping keliru kuotasinya)? “Di dalam tubuh yang sehat, belum tentu hadir jiwa yang sehat,” katanya. Jaya memberi contoh Mike Tyson atau penghuni Rumah Sakit Jiwa, bertubuh sehat tapi jiwanya sakit. “Para pencopet, maling, perampok, rata-rata fisiknya sehat bahkan kuat agar mampu menunaikan profesi kriminal mereka,” tambahnya.
Pada fitness ia juga melihat kelucuan. “Saya pikir untuk apa sih? Kita diberi kaki dan tangan untuk mengejar dan dikejar sesuatu. Lha ini, lari di tempat. Kemudian bersepeda (maksudnya sepeda statis – Red) tapi gak jalan-jalan. Kalau mau ngeluarin energi, mbok ya ke sawah saja. Tapi kalau dicari gunanya, ya ada: saya senang menonton wanita yang senam dengan baju ketatnya,” katanya sambil tersenyum.
Jaya mencoba menganalisis, ada kesan bahwa motivasi para olahragawan non-profesional itu cuma gengsi pamer status-sosial. “Lebih konsumtif ketimbang produktif,” bebernya. Kalau murni mau berolahraga, sebenarnya di kamar tidur atau kamar mandi pun bisa, dengan menggerak-gerakkan berbagai anggota tubuh. Cuma, ini sayangnya, tidak disaksikan khalayak ramai.
Contoh lain adalah konsumerisme. “Di sini (Indonesia – Red.) kok dianggap (diartikan) konsumtif. Yang benar, (konsumerisme) itu gerakan melindungi konsumen,” paparnya.
Memburu stres
Kekeliruan tak hanya menabrak pada bidang olahraga atau peristilahan saja. Karya seni pun tak luput dari kekeliruan. “Semua karya seni pasti mengandung kekeliruan,” katanya. Lucunya, kekeliruan pada karya seni justru membuat karya seni menjadi indah dan menarik. Mona Lisa karya Leonardo da Vinci, contohnya, jika diperhatikan, tidak ada alis di matanya. Juga lagu Bandar Jakarta, “Harmoninya keliru tetapi kalau dimainkan indah sekali. Saya kagum.”
Dalam bidang musik, kekeliruan justru membuka wawasan baru. Itulah yang terjadi pada musik jazz. Penulisan jazz dengan dua huruf “z” sendiri sudah keliru. Yang benar adalah jass, mengacu pada nama sebuah kelompok musik yang menamakan dirinya The Original Dixieland Jass Band. Debut band itu pada 26 Januari 1917 di Reisenweber’s Cabarte, Columbus Circle, New York City, menggemparkan publik dengan suatu jenis musik baru yang semula disebut jass. Namun kemudian, aliran musik baru itu dimasyarakatkan dengan label “jazz”.
Dalam Kaleidoskopi Kelirumologi (KK), tergambar jelas hasil eksplorasi Jaya yang telah merambah ke mana-mana, meski tujuannya ke satu arah: kekeliruan. Lewat kelirumologinya, Jaya mengajak untuk mempelajari kekeliruan demi mencari kebenaran, demi terciptanya kondisi hidup yang lebih baik, beradab, dan berbudaya. “Menurut saya, kelirumologi adalah esensi dari sukma ilmu pengetahuan. Selama seseorang memang betul-betul menghayati ilmu pengetahuan, otomatis ia seorang kelirumolog,” jelasnya. Karena itu, metodologi kelirumologi sangat fleksibel, menyesuaikan diri dengan jalur telaah ilmu yang berkaitan.
Tetapi keliru kalau menyangka, dengan telah mempelajari kekeliruan, Jaya tidak keliru lagi. Ini menyangkut salah satu obsesinya mempersiapkan generasi keempat perusahaan Jamu Cap Jago. “Saya sudah mempersiapkan penerus. Sudah cocok, ilmu yang dipelajarinya juga mendukung. Tapi kalah rencana sama Beliau. Ia menikah di Amerika dan tidak mau kembali,” kisahnya. Berhubung tidak memiliki keturunan, Jaya menumpahkan obsesi tentang generasi keempatnya kepada putri adiknya, yang baru saja lulus dalam usia termuda di universitasnya.
Toh hal itu tak membuatnya kecewa, apalagi stres. Bahkan, dalam biodatanya yang terpampang di bagian belakang buku KK, akibat kekeliruan-kekeliruan yang dilakukannya, ia memperoleh puluhan penghargaan nasional maupun internasional dalam bidang seni musik (dari Freundeskreis des Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard, Belanda), kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), komputer (Best in Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), industri-bisnis (The Best Executive Award 1998), prestasi perusahaan (Trade Leader’s Club, Madrid, dan Institut pour Selection de la Qualite, Belgia), lingkungan hidup (Sahwali Award 1997), kemanusiaan (Duta Kemanusiaan 1991 – 1992 Palang Merah Indonesia), dll.
Bagi Jaya stres justru harus diburu sebab, katanya, “Stres adalah anugerah Yang Maha Kuasa, sebagai energi lahir-batin.” Tanpa stres, manusia menjadi loyo, apatis, pasif, tidak berdaya karsa dan karya. Makanya, semua seminar yang bermaksud membantu menghilangkan stres itu keliru. Gila apa, stres kok mau dihilangkan. Kita justru harus mengelola stres itu menjadi eustress (stres positif). “Agar jangan jadi distress (tertekan),” jelasnya.
Tak mau disebut humoris
Berbicara dengan Jaya, seperti menghadapi orang dengan kadar humor tinggi. Tak aneh sebab ia pernah menyabet gelar Tokoh Humor Nasional 1996, pilihan pembaca majalah Humor. Namun, lagi-lagi Jaya mengingatkan bahwa pengertian humor saat ini ternyata keliru!
Terminologi humor berasal dari kata bahasa Latin, yang artinya tidak ada kaitannya dengan masalah jenaka atau tertawa, tetapi sekadar bermakna cairan. “Nah, disertasi doktor honoris causa saya di Universitas Pacific Western mengambil tema metamorfosa kata humor itu.”
Dari zaman Yunani kuno sampai Renaissance, ilmu fisiologi menganggap temperamen karakter manusia berkaitan dengan humor (cairan) yang ada di dalam tubuh. Kalau salah satu cairan berlebihan, maka terjadi ketidakseimbangan humor. Apabila seseorang kehilangan keseimbangan humor, maka dia berperilaku tidak sehat, alias gila, lalu disebut humoris. “Makanya saya gak mau disebut humoris,” kilahnya.
Humor, bagi Jaya, tidak sekadar tertawa, sesuatu yang jenaka, atau dagelan belaka. “Humor melekat pada gerak batiniah saya. Humor adalah daya rasa dan pikir yang lentur, lincah, dan bugar.” Tak heran jika di saat duka pun, humor tetap eksis di kawasan batiniah Jaya. Sebab, dengan humor itulah, “Saya masih bertahan hidup. Tanpa humor, sudah lama saya bunuh diri akibat tidak tahan menghadapi kenyataan hidup yang penuh kemelut deru campur debu, tepercik keringat, air mata, dan darah!”
Melalui humor inilah Jaya menambah istilah baru humorologi, mendampingi kelirumologi. Makanya Jaya lebih suka disebut humorolog daripada humoris. Sebutan yang menambah panjang sebutan yang disandangnya, seperti jamulog, pengusaha, pianis, budayawan, maupun seminaris. Mengenai sebutan-sebutan itu Jaya berkomentar, “Banyaknya sebutan itu sebenarnya sindiran betapa sebutan sekadar predikat yang pada hakikatnya hampa makna.”
Bahasa kasarnya, “Omong kosong!” Sebutan itu hanyalah kesepakatan orang, bagian kecil dari kehidupan. Lalu, kenapa begitu ditonjolkan, tanya Jaya. Sehingga kita sering terjebak di dalamnya. Kita lebih merasa jadi dokter dibandingkan manusia, misalnya. “Itu bahayanya, sebab kita sudah tidak punya perasaan,” katanya. Yang penting, profesi itu karsa manusia. Manusia harus di atas profesi.
Pandangan seperti itulah yang menjawab pertanyaan mengapa Jaya masih saja punya waktu untuk memberi “makan” sebutan-sebutan tadi. Bahkan, “Saya merasa masih punya banyak waktu tersisa setiap harinya.” Alasannya, ia tidak melakukan banyak kegiatan yang rakus akan waktu seperti main golf, bertandang ke fitness center, mabuk-mabukan, atau main judi.
Selain itu, tidak semua kegiatan yang dilakukan makan banyak waktu, semisal keanggotaan di organisasi-organisasi LSM sosial yang sama sekali tidak full time. Di perusahaan jamunya sendiri ia kini hanya sebagai presiden komisaris, yang tugasnya mengawasi, yang notabene tidak harus ngetem di kantor sepanjang hari. Bahkan kalau ia kedapatan keluyuran di kantor, para direkturnya malah bertanya, “Kok Pak Jaya nggak pergi sih?”
Maka, apakah keliru jika suami Julia (43) ini malah berkata, “Rasanya, masih banyak waktu yang saya mubazirkan”?
Ojo dumeh
Jika melihat apa yang telah dilakukan, rasanya keliru jika mengatakan bahwa waktu yang dimiliki Jaya telah mubazir. Filosofi menunggu mati telah dia isi dengan hal-hal yang sebisa mungkin menambah “tabungan” sebagai bekal ke surga. Atau dalam bahasanya, “Sesedikit mungkin berbuat dosa.” Harapannya tentu masuk surga, meski kalau ke neraka juga tidak apa-apa. “Itung-itung ngrasain neraka itu kayak apa,” kelakarnya.
Salah satu “tabungan”-nya berwujud Panti Asuhan Rotary-Suprana, selain anak asuh. “Tapi kami lebih mementingkan kualitas daripada jumlah.” Di atas tanah warisan almarhumah ibunya, Lily Suprana, seluas 900 m2 di kawasan Candi Baru, Semarang, kini tinggal sekitar 10 orang anak. Semuanya lelaki. “Untuk sementara menangani pria dulu. Ya, diskriminasi sih. Tapi alasannya lebih ke pengawasan. Kalau pria ‘kan paling jadi pengacau, tapi kalau wanita dikacau. Repot!” candanya.
Perkembangan panti yang biaya operasionalnya didukung bersama dengan Yayasan Rotary ini memang bagus. Itu jika dilihat dari prestasi anak asuhnya yang memperoleh ranking di kelasnya masing-masing. Bahkan ada yang sampai patheken duduk di ranking 1. “Kita beri hadiah atas prestasinya itu,” kata Jaya.
Bisa jadi, sifat penderma tidak lepas dari didikan sang ayah, Lambang Suprana. “Ayah saya mendidik secara keras, lepas dari pemanjaan materialistik. Saya berterima kasih karena dengan demikian kini saya tidak memberhalakan kekayaan bendawi, dan sadar bahwa harkat dan martabat manusia bukan diukur dari kekayaan harta bendanya, namun dari kekayaan akhlak dan imannya.”
Didikan itu didukung oleh tempaan hidup yang dilakoninya. Ia pernah menjadi pedagang buku bekas di Semarang pada tahun 65-an. Semasa sekolah di Jerman ia pun tak sungkan menjadi tukang bubut, tukang pasang ubin, atau menjadi pegawai kafetaria mahasiswa.
Demikian juga, meski lahir di Bali, berasal dari keturunan etnis Tionghoa, serta pernah lama tinggal di Jerman, Jaya merasa ia orang Jawa. Budaya yang membesarkannya pun budaya Jawa. Soal filsafat Jawa, ia berani diadu. Bagaimana tidak, dalam soal filsafat ini Jaya berguru kepada Ki Nartosabdo. Makanya, ia pun bisa memahami prinsip perusahaan Jamu Jago ciptaan kakeknya, ojo dumeh.
“Saya kagum dengan prinsip itu. Herannya, mengapa ada orang harus menambahnya dengan ojo gumunan (jangan mudah kagum) dan ojo kagetan (jangan gampang terkejut)? Buat saya, penting lo kaget, supaya kita waspada. Lalu, ojo gumun, menurut saya kok arogan banget kita. Kita harus gumun, tapi jangan berhenti sampai gumun.”
Menurut Jaya, filsafat Jawa tidak ada yang keliru. Yang salah adalah penafsirannya. Banyak sekali kasus yang menafsirkan secara keliru sehingga pandangan terhadap orang Jawa menjadi tidak tepat lagi. “Misalnya mangan orang mangan kumpul. Itu indah sekali. Menunjukkan yang penting itu kumpul, bukan sekadar kumpul. Tetapi kerukunan. Demi kerukunan kita harus melakukan apa pun. Kalau perlu sampai tidak makan. Jadi, jangan makannya yang dikedepankan.”
Belum sukses
Dimensi Jaya bukanlah cuma lucu dan serius. Tetapi juga kreatif, cerdas, pemikir, dan bervisi ke depan. Ia memiliki kejelian kreatif untuk memotret kekonyolan perilaku orang. Berkaitan dengan meninggalnya Putri Diana, istri Pangeran Charles dari Inggris, sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta secara khusus mewawancarai anggota masyarakat. Seorang perempuan muda warga Jakarta dengan penuh semangat dan ceria sambil berulang kali tertawa lebar, menjawab pertanyaan reporter TV swasta di halaman Kedutaan Besar Kerajaan Inggris di Jakarta, “Ha-ha-ha …, saya senang sekali! Ternyata Kedutaan Inggris di sini memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan duka cita! Saya senang sekali, ha-ha-ha …, bisa menyampaikan rasa duka cita saya, ha-ha-ha …!” Inikah ungkapan duka cita model baru?
Upaya mendirikan Museum Rekor Indonesia (MURI) patut pula disampaikan sebagai bagian dari visi ke depannya untuk menghimpun data-data superlatif dalam hal prestasi, keunikan, kelangkaan, dan kepeloporan dalam kehidupan bangsa. Meski baru berdiri tahun 1990, museum yang selokasi dengan Museum Jamu Jago ini sudah menjadi objek wisata resmi Kota Semarang, Jawa Tengah.
Segudang pencapaian lain telah direngkuhnya pula. Sebagai kartunis ia telah menggelarkan karyanya di Jerman, Norwegia, dan Indonesia sendiri. Sementara karya musiknya telah dipergelarkan di berbagai negara di Eropa, Amerika, Aljazair, Selandia Baru, dll. Jaya pun ikut memelopori program donor ginjal jenazah di Indonesia.
Toh dengan itu semua, Jaya masih belum memahami apa sebenarnya arti sukses. “Karena, sukses bagi saya, mungkin sepele bagi orang lain, seperti saya sukses jika bisa lari 100 m dalam waktu 10 menit. Sementara bagi Carl Lewis pasti malu bukan alang kepalang.” Yang penting, bukan merasa sukses, namun mensyukuri hasil karya yang telah kita perjuangkan. Iyalah! (Yds Agus Surono)

0 komentar:

Posting Komentar

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates