Ketertarikan saya pada Marxisme sama besarnya dengan ketertarikan saya pada Eksistensialisme Sartre. Keduanya tidak lantas saya pertentangkan seolah antara keduanya saling menegasi, seperti kebanyakan orang berpendapat. Eksistensialisme Sartre saya posisikan sebagai ajaran moral yang membebaskan sedangkan Marxisme sebagai metode berpikir sekaligus bertindak sehingga revolusi sosial jadi jelas referennya, tidak gegabah (reaktif, spontan/ tidak terorganisir sehingga mudah dipatahkan) dan tidak pula tak berpijak. Oleh karenanya menjadi jelas pula, moral revolusi yang digadang-gadang Sartre melalui sastera dalam la literature engagee seharusnya bermuara ke suatu revolusi sosial yang darinya masyarakat tanpa kelas terwujud, bukan ke arah revolusi sunyi sendirian itu.
Namun, ketertarikan saya terhadap pemikiran Marx tidak lantas membuat saya alpa membaca Sukarno. Sebab rupanya Marxisme sudah inheren dalam ajaran Sukarno, seperti bisa kita lihat dalam artikelnya berjudul “Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx” yang dimuat di koran Pikiran Rakyat tahun 1933 dan dihimpun dalam bukunya berjuduldi Bawah Bendera Revolusi jilid pertama. Pun tulisan ini adalah ikhtiar penulis memahami pokok-pokok pikiran Sukarno dalam 5 artikel korannya yang dihimpun ke dalam bukunya “di Bawah Bendera Revolusi”. 5 artikel itu diantaranya adalah:
- Jawab Saya pada Saudara Hatta
- Sekali lagi: Bukan “Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah!”, Tetapi “Banyak Bicara, Banyak Bekerjalah!”
- Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx
- Reform Actie dan Doels Actie
- Bolehkah Syarikat Sekerja Berpolitik?
Terutama pokok pikiran yang ia eksplisitkan dalam artikelnya berjudul“Jawab Saya pada Saudara Hatta”. Di artikel ini menjadi jelaslah posisi politik Sukarno vis a vis Belanda, yaitu nasionalist non-cooperator. Sebagaimana ia kemukakakan sendiri “Perkara non-koperasi bukanlah perkara perdjoangan sahadja, perkara non-koperasi adalah perkara azas perdjoangan. Azas perdjoangan inilah yang harus kita pegang teguh sebisa-bisanja. Azas perdjoangan inilah yang tidak mengizinkan seorang nationalist non cooperator pergi ke Den Hag”.
Dalam pandangan Sukarno keterwakilan Hindia Belanda di parlemen Belanda (di Den Hag) bisa dibilang adalah suatu kemunduran perdjoangan. Sebab dengan begitu, artinya kita tengah mengafirmasi kelemahan bangsa sendiri dan kealpaan untuk menyusun kekuatan (membangun Gedong Kemerdekaan). Dan apa yang dilakukan Hatta hal serupa itu. Meski Sukarno sendiri tidak sampai menyebut Hatta sebagai telah menyimpang dari posisi politik yang nasionalist non cooperator. Sukarno menyebut Hatta sebagai nasionalist non cooperator yang sudah tidak 100 % lagi atau nationalist non cooperator yang sudah tidak prinsipil lagi. Karena apa yang akan dilakukan Hatta memilih jalur perdjoangan parlementer di Den Hag bukanlah taktik yang terpaksa dilakukan karena situasi “kepepet” atau situasi mandek yang membuat perdjoangan tidak akan lanjut jika tak memilih jalur itu. Ketidak-kepepet-an situasi itulah yang menjadi dasar Sukarno menyebut Hatta sebagai nationalist non cooperator yang sudah tidak prisipil lagi. Sebab taktik macam itu hanya boleh dilakukan dalam suasana “kepepet”.
Artinya pada titik ini, Soekarno hendak bilang, ada hal yang lebih penting dari taktik yang hendak dipilih Hatta. Yaitu membangun kekuatan diri sendiri (bangsa sendiri)/menyusun gedung kemerdekaan secara jasmani maupun rohani. Dan non koperasi itu dijalankan terutama sekali untuk menyusun rohaninya gedung kemerdekaan kita, untuk revolutionaire lading masyarakat kita. Begitulah agaknya, dalam pandangan Sukarno, sendi-sendi perdjoangan itu mesti didahului dengan menyusun kekuatan sendiri secara mantap.
Perdjoangan itu Menuntut Bukan Meminta-minta bak Pengemis
Posisi radikal Sukarno tidak hanya tersirat dalam artikel yang ditulisnya merespon Hatta, melainkan juga tersirat dalam artikelnya merespon argumentasi tuan S yang menolak partisipasi kaum buruh di ranah politik, “Perkumpulan sekerdja harus terlepas dari politik. Pun ini ada perlunja supaja permintaan perobahan nasib pada kaum madjikan tidak lantas kena tjap “politik”, sehingga onderhandelingen tertutup. Perlawanan yang sehat sekalipun, akan kurang harganja djikalau ada alasan bisa dikenakan tuduhan politik jang mendjadi dasar”.
Asumsi yang mencita-citakan harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh adalah ideologi yang dilesatkan oleh kaum borjuis kepada kaum buruh. Agar kaum buruh tidak melakukan apa-apa dan membiarkan dirinya dieksploitasi habis-habisan oleh kaum modal demi kesejahteraan kaum modal yang segelintir. Tak heran jika pemikiran yang lahir adalah pemikiran anti politik. Yang pada gilirannya menumbuhkembangkan mentalitas pengemis. Bahwa biarlah politik dipegang oleh kaum modal saja tidak oleh kaum buruh. Konsekuensi dari dipegangnya kendali politik adalah kaum buruh akan tetap terpuruk di sudut-sudut kerja mereka dan satu-satunya kerja membebaskan adalah berdoa seraya berharap doanya dikabulkan oleh majikan.
Wajar jika kaum buruh tak punya posisi tawar di mata majikan, meski secara jumlah kaum buruh lebih banyak dari kaum modal. Karena kekuatan kaum buruh diisolir dalam rantai ideologi palsu yang termanifestasi dalam ajaran tentang harmoni antara kaum modal dengan kaum buruh, ajaran tentang “berpolitik” akan mematahkan ikhtiar doa kaum buruh kepada kaum modal dikabul. Oleh karena itu segera buang jauh-jauh ajaran yang menipu itu. Sukarno bilang ganti ajaran yang salah itu dengan ajaran akal dialektik. Di mana antara modal dan kerja selalu ada tabrakan kebutuhan.
Kaum buruh mesti mengorganisir diri secara mantap, masuk ke berbagai ranah perdjoangan, tak terkecuali politik, seperti yang tertera dalam keputusan kongres buruh di Surabaya tanggal 4-7 Mei 1933: “Mempertahankan dan memperbaiki nasib kaum Buruh Indonesia di segala lapangan (baik sosial, ekonomi, maupun politik)”. Dengan masuknya kaum buruh ke ranah perdjoangan politik kesempatan mewujudkan keputusan penting lainnya yang dihasilkan kongres yaitu “Menuntut cara menghasilkan barang-barang secara sosialistis (menggunakan modus produksi yang sosialistis)” menjadi terbuka lebar besar-besar.
Menjadi teranglah bahwa perdjoangan kaum buruh itu bukan meminta-minta /mengemis-ngemis pada kaum modal yang bila dikabul syukur dan bila tidak diam saja, perdjoangan itu mesti menuntut, yang bila disepakati berarti serikat buruh amatlah kuat vis a vis kaum modal dan bila tidak disepakati berarti kaum buruh masih kalah kuat berhadapan dengan powernya kaum majikan, maka kaum buruh mesti berbenah diri bukan malah diam saja. Dan pemikiran anti politik adalah pemikiran yang menyamarkan perdjoangan menuntut hak kaum buruh, mestilah dienyahkan dari akal budi kaum buruh.
Berdjoang untuk Masa Kini dan Masa Depan
Ada dua golongan pergerakan di Indonesia yang disindir oleh Soekarno dalam artikelnya berjudul Reform Actie dan Doels Actie. Reform Actie, tipe gerakan macam ini menurut Soekarno adalah tipe gerakan yang beraksi untuk kepentingan saat ini saja (jangka pendek), seperti aksi menuntut turunnya pajak dan tambahnya sekolahan. Turunnya pajak untuk turunnya pajak semata dan tambahnya sekolah untuk tambahnya sekolah semata. Tidak mau mementingkan aksi maksud tertinggi seperti aksi Indonesia Merdeka dan tumbangnya tatanan dunia yang Kapitalistik. Yang kedua, Doels Actie, adalah pergerakan yang hanya mementingkan aksi besar yaitu Indonesia Merdeka dan tumbangnya tatanan dunia yang Kapitalistik seraya tidak mau tau aksi kecil-kecilan seperti yang dikerjakan kaum reformis.
Tentang Doels Actie yang disindir Sukarno sebagai gerakan yang maunya lompat saja pada situasi ketumbangan imperialisme-kapitalisme tanpa hirau pada pentingnya upaya kecil-kecilan mendarahdagingkan kesadaran perlawanan tanpa kenal damai pada massa, rupanya senada dengan sub judul dalam bukunya Martin Suryajaya “Materialisme Dialektis” berjudul Moral Revolusi dan Komunisme Surgawi.
Bahwa gerakan yang bercorak Doels Actie (dalam bahasa Martin, Kaum Otonomis) biasanya gerakan yang sukanya mengisolir diri di tempat yang jauh dari riuh rendah, dan carut marutnya tatanan sosial, ekonomi dan politik. Mereka mengambil posisi aman di tempat terjauh yang tidak ada orang mau mengusik keasikannya bergumul dengan cita-cita adiluhung yang mereka yakini. Sebut saja mereka terobsesi pada cita-cita murni tanpa mau menapaki langkah demi langkah perdjoangan kecil-kecilan masuk ke gelanggang perdjoangan politik dan ekonomi yang ada di sekeliling mereka.
Di gelanggang politik, mereka adalah sekelompok orang yang sukanya menutup mata saja pada situasi realpolitik yang ada. Karena bagi mereka, perdjoangan politik adalah sebentuk kompromi dengan kaum borjuis yang menguasai negara. Total distrust pada politik adalah satu-satunya ideologi politik yang benar buat mereka. Seperti kata Martin, Marx menyebut mereka sedang mengoprasikan satu mode indiferentisme politik: “Demikian telah jelas bahwa tendensi kaum otonomis kontemporer untuk mereduksi ekonomi ke politik pada akhirnya justru bermuara pada indiferentisme politik, pada sikapapolitis. Sebabnya jelas : begitu ekonomi dibaca secara politis tanpa melihat materialitas yang mendasarinya namun sekaligus politik riil ditolak karena penuh representasi, maka kesimpulannya tak lain adalah sembunyi ke dalam imajinasi politik yang akan berakhir dalam politik imajinasi, dalam politik sebagai hobi dan kenalakalan remaja”.
Dalam konteks mewujudkan perdjoangan masyarakat yang tanpa kelas, misalnya di ranah gagasan mereka telah mendistorsi ajaran Marx tentang diktator proletariat. Negri berargumen, dengan menapaki jalan sosialisme sesungguhnya kita sedang mengafirmasi kapitalisme juga, kapitalisme monopoli-negara. Oleh karenanya revolusi sosialis dan diktator proletariat mesti dilompati saja dan kita langsung membentuk komunisme. Caranya dengan memplesetkan ajaran Marx tentangpembebesan kerja jadi pembebasan dari kerja. Karena kerja pula dianggap representasi dari kapitalisme. Karena banyak menolak riil situasi akhirnya mereka tak melakukan apa-apa untuk mengupayakan emansipasi secara material, emansipasi bagi mereka hanya sebatas afirmasi diri.
Mengenai Reform Doels, saya akan kutipkan kalimat Sukarno di akhir artikelnya ini: “Dan politik reformisme harus kita enyahkan ke dalam kabutnya ketiadaan, kita usir ke dalam liang kuburnya kematian melalui kumidir bodor ketawaan rakyat”.
Yoga ZaraAndritra, Mahasiswa Aqidah Filsafat yang baru menyelesaikan KKM-nya di Sukabumi sambil malas-malasan dan tidak terlalu malas sih, karena masih suka bergiat di Asian African Reading Club sebagai Below the Line Activist.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar