Selasa, 05 Maret 2013
0 Makna Hari Perempuan Sedunia
Menghadapi Hari Perempuan Sedunia
Kawan-kawan, silahkan dibaca permasalahan pokok buruh migran perempuan diluar negeri sebagai ajuan kita di hari perempuan sedunia yang akan diorganisir oleh Aliansi cabut UUPPTKILN no 39/2004
Secara Ekonomi;
Perampasan upah yang dilakukan negara dan asosiasi PPTKIS/agen dengan menetapkan biaya penempatan yang sangat tinggi (overcharging), semena-mena dan tidak transparan. Persoalan ini diperburuk dengan pelarangan kontrak mandiri yang memaksa setiap buruh migran untuk memproses kontraknya dengan agen dan lebih buruk lagi melarang pindah agen sebelum 2 tahun finish melalui aturan sistem online. Overcharging tidak hanya terjadi sekali tetapi berkali-kali hingga menjebak buruh migran dalam perbudakan hutang. Hingga hari ini, negara tidak malu “menjual” tenaga buruh migran perempuan dengan harga “underpay” agar mempercepat perolehan keuntungan dan devisa. Kini, deretan perampasan ditambahi dengan memaksa buruh migran untuk membeli asuransi TKI sebesar Rp. 400 ribu setiap 2 tahun sekali melalui mandatori KTKLN.
Secara Politik;
Tidak dilibatkan dalam pembuatan semua peraturan yang berdampak terhadap buruh migran baik di tingkatan nasional hingga luar negeri. Berbagai peraturan yang diciptakan jauh dari harapan buruh migran untuk mendapat perlindungan sejati mulai dari revisi undang-undang pengganti UUPPTKILN No. 39/2004, pembuatan biaya penempatan yang baru dan berbagai aturan lainnya. Kebijakan tersebut murni dibuat sendiri oleh pemerintah bekerjasama dengan pihak asosiasi PPTKIS/agen tanpa melibatkan peran aktif organisasi/perwakilan buruh migran melalui forum-forum yang demokratis seperti konsultasi publik hingga forum tripartite. Jikalaupun ada konsultasi namun sifatnya hanya formalitas dan tetap tidak memperdulikan masukan-masukan penting yang diajukan. Bahkan menolak mengakui bahwa PRT adalah pekerja.
Secara Budaya;
Dalam membuat kebijakan pemerintah seharusnya menciptakan peluang dan ruang bagi buruh migran utamanya perempuan untuk produktif, kreatif dan maju dalam mengembangkan pengetahuannya. Pemerintah justru menciptakan “perlindungan berlapis” dengan alasan meyakinkan “keselamatan” buruh migran yang mayoritas adalah perempuan, yaitu 3 : 1. Status TKW telah distempel “ndeso, sekolah rendah, gagap teknologi dan tidak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan birokrasi pemerintah Indonesia dan negara penerima” kepada jutaan perempuan yang selama ini terbukti mampu menghidupi keluarga dan negara dari hasil keringatnya. Ketidakpercayaan ini kemudian diwujudkan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan pelindung (PPTKIS/agen) bagi para TKW dan memaksa buruh migran untuk tidak selalu dalam naungan pelindung ini. Tugas mereka bukan hanya mengirim dan mencarikan majikan tetapi juga “menjaga” selama masih diluar negeri dan memulangkannya, sedangkan pemerintah sendiri cuci tangan dan sekedar menikmati keuntungan.
Lebih dari itu, pemerintah juga menebarkan pesan-pesan yang membatasi kebebasan perempuan migran untuk lebih memahami haknya atas kesehatan dan reproduksi. Karena itu, banyak buruh migran perempuan yang mengalami gangguan kesehatan atau kehamilan yang memilih untuk diam dan mencari solusi sendiri, yang seringnya justru lebih merugikan, dibanding terbuka meminta pertolongan. Dari segi pelayanan, para pejabat Konsulat tidak ramah dan menyepelekan hanya karena yang datang adalah TKW dengan pakaian seadanya. Sudah banyak laporan yang menyatakan pejabat lebih mendahulukan yang bukan TKI dan bersikap manis kepada mereka yang dinilai lebih cantik secara fisik.
Untuk merubah ketidakadilan ini serta menciptakan pengakuan dan kesetaraan bagi kontribusi perempuan di masyarakat dan negara, perempuan termasuk buruh migran diluar negeri memang harus berperan aktif untuk meniadakan aturan-aturan yang sengaja mendiskriminasikan perempuan. Keberanian untuk mendobrak kungkungan hanya mampu diwujudkan jika perempuan mulai belajar membuka diri dan aktif dalam organisasi. Disinilah perempuan akan dilatih untuk kritis, mandiri dan berani berjuang untuk perubahan yang dia inginkan. Hal ini juga berlaku bagi seluruh perempuan buruh migran yang ingin perubahan sejati.
Label:
PENDIDIKAN / BUDAYA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar