“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
Begitulah sepenggal refrain lagu “Kolam Susu” ciptaan Koes Plus. Betapa tidak, Negara kepulauan yang terdiri dari 13.487 pulau, membentang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik itu, memiliki daratan subur seluas 1.922.570 km² dan perairan seluas 3.257.483 km². Beragam kekayaan sumber daya alam terbentang di sana. Pertanyaannya, kenapa “berjuta rakyat bersimbah luka, anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja,” sebagaimana lirik lagu “Darah Juang” karya sahabat saya John Sonny Tobing yang ngetop dikumandangkan dalam demonstrasi era 1990-an. Kepemimpinan lah kuncinya.
Tanpa adanya pemimpin yang tepat pada Pemilihan Presiden di 2014 nanti, analogi“Kolam Susu” untuk Indonesia yang diungkapkan Koes Plus, dengan mudah akan berubah menjadi “comberan”. Badai dan Topan akan silih berganti menerjang perpolitikan kita, bahkan gejala tsunami sosial seperti ibu yang depresi membunuh anak kandung sendiri, akan terjadi di mana-mana. Sebab pemimpin yang ada tidak memberi ruang bagi rakyat untuk memajukan kesejahteraannya.
Padahal, bapak pendiri bangsa sudah jelas, menawarkan Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (2) dan (3) yang dengan tegas menyebutkan, ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara,” dan ayat(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Namun sejak Orde Baru berkuasa, terutama sejak diberlakukannya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, penjarahan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, oleh perusahaan-perusahaan asing berlangsung secara massif. Penggarongan itu berjalan lebih terang-terangan justru setelah reformasi dikumandangkan. Mengutip data WWF, laju penggundulan hutan di Indonesia antara 2000-2005 mencapai setara 364 lapangan bola per jam.
Pertambangan yang mestinya menggerakkan ekonomi masyarakat setempat justru berdampak memiskinkan. Ekonomi subsisten yang tidak kurang sandang-pangan diganti ekonomi kapitalis yang memaksa suku Dayak Meratus menjadi buruh pertambangan. Sepanjang era reformasi, setidaknya diterbitkan 10 ribu izin usaha pertambangan (IUP). Di antara 10 ribu itu ternyata 5.806 IUP yang bermasalah. Sudah itu, tidak sedikit pula IUP yang dikuasai perusahaan asing.
Mencermati gejala di atas, tidak terlalu berlebihan, bila pemimpin-pemimpin kita, sejak Orde Baru hingga berkumandangnya “azan” reformasi, tidak lebih dari seorang komprador. Apa itu komprador? Komprador berasal dari bahasa Portugis yang berarti perantara. Istilah itu meluas digunakan di China, saat perusahaan-perusahaan dan pemerintahan asing menyabung peruntungan di Shanghai dan Canton. Sejak itu, istilah komprador digunakan untuk menyebut perantara pribumi setempat yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan atau perwakilan asing di sana.
Akibat mentalitas komprador itu, sekarang ini di sektor pangan saja, Indonesia yang memiliki lahan pertanian 13 juta hektar dan lautan yang kaya-raya, ironisnya harus impor pangan sebesar Rp 125 triliun per tahun. Padahal, di luar lahan seluas 13 juta hektar itu, terdapat konsesi penguasaan lahan ke swasta dan sebagian di antaranya asing yang mencapai puluhan juta hektar. Gambaran itu jelas menunjukkan pemerintah kita lebih memperhatikan kepentingan asing ketimbang kepentingan bangsanya sendiri.
Padahal, di manapun di dunia, pemerintahnya selalu memperhatikan kepentingan nasionalnya. Seperti bangsa Amerika yang terus mensubsidi sektor pertaniannya. Sedangkan produk-produk di dalam negeri, termasuk produk pangan, dibiarkan bertarung di retail-retail yang mayoritas kepemilikannya pun sudah jatuh ke tangan asing. Alhasil, bangsa Indonesia menjadi bangsa paria di negeri yang sesungguhnya kaya raya. Tentu kenyataan yang demikian tidak bisa didiamkan begitu saja.
Indonesia dengan pemeluk Muslim yang mayoritas, sesungguhnya pemimpin-pemimpin muslimnya hafal dengan bunyi al-Qur`an surat 13 ayat (11), bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka.” Namun, kurangnya daya upaya, atau karena pemimpin-pemimpinnya, termasuk pemimpin di kalangan muslim sendiri lebih mementingkan diri sendiri, maka sejak dijajah Belanda hingga sekarang, hampir dari separuh bangsa Indonesia hidup dalam penghasilan kurang dari Rp 19 ribu per hari.
Kondisi itu tentunya harus segera diakhiri, dengan menemukan pemimpin yang tepat pada 2014 nanti. Pemimpin yang tepat adalah pemimpin yang kata Bung Karno, berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Selain ketiga syarat yang tampaknya telah menjadi tuntutan publik, tidak kalah penting adalah pemimpin yang tidak tersandera oleh persoalan masa-lalu, baik terkait kasus-kasus korupsi maupun terkait kasus-kasus kejahatan kemanusiaan.
Saya tidak perlu sebut nama di sini, namun yang jelas pemimpin-pemimpin itu tidak ada dalam daftar calon-calon presiden yang sekarang beredar. Dari hitung-hitungan jajak pendapat saja, persentase tertinggi di antara para capres yang ada itu tidak pernah lebih dari 20%. Itu artinya, kalau capres-capres itu tidak tambeng, kehadiran mereka tidak disukai publik. Sudah semestinya orang-orang itu “tahu diri” dan memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh yang dikehendaki publik.
Apakah yang sesungguhnya dikehendaki oleh publik? Bila mencermati isi pemberitaan media massa, khususnya media cetak dan online, pertama, publik mulai gerah dengan maraknya kasus-kasus korupsi, dan kedua, publik juga mulai tidak percaya dengan calon-calon pemimpin yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing, alias komprador. Selanjutnya, publik mengapresiasi apa yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang mau turun ke bawah, bahkan menghadirkan istilah baru dalam praktik politik, yaitu blusukan.
Tidak mengherankan bila belakangan ini, meskipun tidak pernah mengajukan diri menjadi calon presiden, secara terang-terangan maupunsembunyi-sembunyi, namun Joko Widodo yang belum genap setengah tahun memimpin Jakarta, tiba-tiba melejit di urutan paling atas dalam sejumlah survey calon presiden. Mengalahkan capres-capres yang telah mendeklarasikan diri dan telah mem-branding dirinya di televisi-televisi dan koran. Artinya publik memang menghendaki pemimpin yang fresh from the oven, bukan pemimpin yang dikarbit media televisi, dotcom dan koran.
Selain Joko Widodo, bila diberi ruang politik yang lebih sehat, tentu saja masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang layak bertarung di Pemilu 2014 nanti. Mumpung masih ada waktu, dalam enam bulan ini mestinya para aktivis gerakan mulai mencari-cari tokoh dengan kriteria berdaulat, berdikari, berkepribadian dan tidak tersandera oleh peroalan masa lalu. Dalam 6 bulan ke depan tokoh-tokoh itu harus segera ditemukan, untuk selanjutnya mendesak partai-partai politik yang ada untuk menghentikan ke-tambeng-an ketua umumnya dengan mencalonkan tokoh dengan empat kriteria itu sebagai Calon Presiden – Calon wakil Presiden.
Tentu saja, agen-agen kapitalis global tidak tinggal diam untuk menghambat tokoh-tokoh nasionalis yang potensial membubarkan bisnis mereka di Indonesia. Kabarnya pula, Wakil Menteri Keuangan Gita Wirjawan sudah dielus-elus agen kapitalis global untuk tampil di 2014 nanti. Namun semua itu masih rumor yang dibicarakan di jejaring sosial. Toh begitu, publik perlu waspada atas kabar burung yang kini sudah menjadi perbincangan hangat sejumlah elite politik dengan reputasi “penjual Tanah Air” itu.
Selain Gita Wirjawan, Dahlan Iskan yang mulai mem-branding diri lewat ratusan media cetak miliknya yang tersebar di sepenjuru Tanah Air, tidak bisa pula dianggap sebelah mata. Kehadiran Dahlan Iskan relatif bisa diterima oleh penggiat-penggiat LSM “pembangunan-isme” yang memang tidak kritis terhadap kenyataan telah dikuasainya mayoritas asset strategis ke pihak asing. Namun bila tahu reputasi siapa Dahlan Iskan, yang membuat koran saja “Koran amplopan”, tentu akan berpikir panjang untuk memilihnya menjadi Presiden atau Wakil Presiden di 2014 nanti.
Perlu pula dicermati, siapa pengganti Anas Urbaningrum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat nanti? Di sana disebut-sebut sejumlah nama, antara lain Menkopolkam Djoko Suyanto, Kasad Jenderal (TNI) Pramono Edhie Wibowo dan Mendag Gita Wirjawan. Siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum, diperkirakan akan dimajukan sebagai calon presiden dari Partai Demokrat. Tampaknya pula agen-agen Kapitalis Asing diperkirakan membidik siapapun calon yang terpilih dari Demokrat.
Tentu saja, calon pemimpin yang direstui oleh Washington itu akan di-branding habis-habisan. Bila kalangan kritis di Indonesia lengah, bukan tidak mungkin “calon-calon” yang model sebelas dua belas dengan SBY yang kembali terpilih dalam Pemilu 2014 nanti. Artinya, rakyat akan kembali meratapi nestapa berkepanjangan sebab “kolam susu” Indonesia sudah berubah menjadi “comberan”, alias hanya tempat pembuangan limbah produk-produk asing.
Geregetan dengan kenyataan ini, Amir Husin Daulay, Pendiri Pijar yang kini aktif di Indonesia Democracy Monitor (Indemo) mengajak aktivis gerakan mendorong Joko Widodo agar mau dicalonkan menjadi Presiden di 2014 nanti. “Demi Allah, gua gak rela Negara ini jatuh ke tangan Harry Tanu, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan dan pencoleng-pencoleng lainnya. Bisa makin hancur Negara ini,” ungkap Amir lewat tanggapan atas gambar Joko Widodo yang disandingkan mirip Jenderal Soedirman di grup BB Pijar.
Ajakan Amir masuk akal. Dalam sebuah acara ProDEM di Hotel Sahid, Jakarta, awal Februari ini, peneliti Charta Politika Yunanto Wijaya menyebutkan, elektabilitas Joko Widodo diunggulkan di semua Kabupaten yang ditelitinya, bahkan di hutan Kalimantan yang jauh dari JokowiEffect. Hasil penelitian ini mempertegas hasil penelitian Tim Pusat Data Bersatu (PDB) yang dipimpin politisi PAN Didik J Rachbini. Dalam penelitian PDB mencatat, Jokowi unggul di urutan 1 (21,2%), disusul Prabowo (17,1%), Megawati (11,5 %), Rhoma Irama (10,4 %) dan Aburizal Bakrie (9,7%).
Selain elektabilitasnya kuat, rekam jejak Jokowi saat memimpin Solo terbilang moncer. Pedagang kaki lima diubah menjadi pedagang pasar. Perizinan mal-mal dipersulit. Belum lagi kartu sehat yang membuat siapapun penduduk Solo, asal mau dirawat di bangsal kelas 3, berobat gratis, dan kartu pintar yang memungkinkan siapapun warga miskin Solo untuk sekolah. Jokowi pula yang mengenalkan produk assemblinganak-anak SMK untuk diplot menjadi mobil nasional.
Artinya, modal untuk menjadi pemimpin yang berdaulat dan mau bekerja untuk rakyat, bukan sebatas pencitraan. Setidaknya, hal itu sudah dibuktikan di Solo hingga dia mampu memenangkan suara 92 % untuk jabatan periode keduanya sebagai wali kota. Namun, tentu saja, Joko Widodo sekadar satu di antara banyak alternatif yang mungkin masih bisa ditemukan dalam sisa waktu 6 bulan ke depan.
Setelah menemukan calon pemimpin yang berdaulat, berdikari dan berkarakter, serta tidak tersandera persoalan masa lalu, langkah berikutnya sudah pasti mendesak partai-partai politik, agar yang bertarung adalah putra-putra terbaik. Pilihannya bukan terbaik di antara yang terburuk, melainkan terbaik di antara putra-putra terbaik. Bukan pula putra komprador yang dibidik kepentingan Asing untuk melanggengkan penjarahannya di Indonesia. Bagaimana kalau partai politik menolak tunduk terhadap desakan publik?
Pemilu boleh jadi tetap berjalan. Tetapi, pemerintahan hasil Pemilu tidak akan jauh beda dengan pemerintahan sebelumnya. Kalau itu yang terjadi, cepat atau lambat, by design maupun alami, akan terjadi revolusi sosial. Maka, sebelum itu terjadi, mari merawat “kolam susu” agar tidak berubah menjadi “comberan” dengan menemukan calon-calon pemimpin yang tepat untuk Pilpres 2014 nanti.
SUMBER:http://merdekainfo.com
0 komentar:
Posting Komentar