Jakarta Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli panen dukungan dari partai-partai politik menjelang putaran kedua pilgub DKI. Meski demikian dukungan besar ini bukanlah jaminan pasangan ini menjadi pemenang. Sebab dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, bukan partai besar namun figurlah yang utama di pilgub DKI.
"Figurlah yang utama di DKI, apalagi jika didukung partai yang solid. Figur yang utama itu antara lain bisa dilihat dari sosok Faisal Basri, calon independen yang mengalahkan calon dari Golkar," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti.
"Begitu juga Foke, ada koalisi partai tapi tidak mampu menjadi pemenang, hanya mampu (dapat suara) 32 persen. Meski partai besar tapi kandidat tidak menarik publik, maka bisa ditinggal masyarakat. Dengan begitu Jokowi punya harapan. Dilihat dari pengalaman, publik Jakarta tidak bergantung pilihan pada parpol, tapi jauh lebih pada figur," papar Ray.
Berikut ini wawancara detikcom dengan Ray Rangkuti, Senin (13/8/2012):
Fauzi-Nachrowi dapat dukungan banyak partai besar di putaran kedua, menurut Anda ini modal berharga untuk melenggang mulus?
Belum tentu karena setidaknya dua alasan. Pertama, koalisi besar itu baru dapat mengumpulkan suara sekitar 48-50 persen. Itu hasil dari koalisi PKS dan PAN menyumbang 12 persen, koalisi PPP dan Golkar sekitar 4 persen. Maka jika dihitung dengan suara Foke yang 32 persen, jadi totalnya suara masih kisaran 48 persen. Dengan kalkulasi sederhana ini, terlihat Foke belum juga dapat menjaring suara mayoritas dalam pilkada nanti.
Kedua, saya melihat peta pemilih di Jakarta sebagai liberal dan rasional. Terlihat mereka tidak terlalu tergantung pada arahan partai. Terbukti koalisi PAN dan Golkar malah hanya mendapat suara di bawah figur independen. Parpol bukan gerbong utama yang dapat menarik minat pemilih ke TPS bahkan minat pemilih untuk menentukan calon mereka.
Menurut Anda mengapa Foke-Nara menjadi 'magnet' bagi banyak partai?
Itu bagi saya tidak terungkap, masih menjadi pertanyaan besar. Karena secara umum bukankah di putaran pertama parpol-parpol yang sekarang mendukung ini menjadikan Foke sebagai 'common enemy'. Tapi sekarang menurut mereka, gagasan mereka ada di Foke, ini kan jadi aneh. Kalau sama, kenapa nggak dari awal saja gabung ke Foke. Tapi mungkin karena tidak punya yang beda, makanya jadi kalah. Kekalahan sangat dimaklumi, karena mereka nggak ada beda dengan Foke. Apa yang menarik, kalau kebanyakan sama?
Kekurangan dan kelebihan calon yang didukung koalisi banyak partai?
Kelebihannya kemungkinan suara. Tapi di pilkada DKI, partai tidak terlalu efektif. PAN, PPP, PKB gagal total untuk mengoptimalkan diri di pilkada DKI. Pasangan Golkar bahkan perolehan suaranya ada di bawah independen.
Saya tidak terlalu percaya Foke akan menang. Karena partai-partai pendukunganya dulu juga terbukti tidak efektif kok bekerjanya. Kerugian punya kerumunan partai besar itu tidak efektif. Di pilgub sebelumnya Foke sudah pakai strategi ini, dikerumuni partai, lalu dicoba lagi model yang sama.
Menurut Anda dukungan partai akan lebih berpengaruh ketimbang figur?
Figurlah yang utama di DKI, apalagi jika didukung partai yang solid. Figur yang utama itu antara lain bisa dilihat dari sosok Faisal Basri, calon independen yang mengalahkan calon dari Golkar.
Begitu juga Foke, ada koalisi partai tapi tidak mampu menjadi pemenang, hanya mampu (dapat suara) 32 persen. Meski partai besar tapi kandidat tidak menarik publik, maka bisa ditinggal masyarakat. Dengan begitu Jokowi punya harapan. Dilihat dari pengalaman, publik Jakarta tidak bergantung pilihan pada parpol, tapi jauh lebih pada figur.
Figur seperti apa yang paling berpeluang meraup suara?
Jika figurnya menarik publik, dapat memberi harapan bagi pemilih agar Jakarta dapat lebih manusiawi, terkelola dengan baik dan terlihat kesungguhan untuk gerakan anti korupsi, maka akan menarik masyarakat datang ke TPS dan memilihnya. Figur yang punya citra perubahan dan menjawab berbagai keruwetan DKI, figur yang bersih. Itu yang paling dibutuhkan.
Kalau ada isu SARA, saya kita tidak ada pengaruhnya buat pasangan calon, tapi malah membunuh demokrasi yang sedang kita bangun.
Koalisi besar itu bukan jaminan bagi Foke untuk dengan mudah menaklukkan Jokowi di putaran kedua. Jokowi sendiri telah mengantungi suara sebanyak 42 persen, jika suara independen dapat diraihnya, setidaknya ia telah dapat mengumpulkan suara yang sama dengan Foke. Dan saya melihat kecenderungan itu. Pemilih yang memilih kandidat independen akan lebih memilih Jokowi di putaran kedua.
Bagaimana dengan golput di putaran kedua mendatang?
Golput itu kemarin lebih pada teknis. Karena dia tidak terdaftar, mungkin pas hari pemilihan tidak libur kerja, sosialisiasi kurang, bisa juga karena macet.
KPU DKI harus melihat apakah upaya yang dilakukan sudah maksimal atau tidak. Kalau masyarakat yang tidak terlalu dekat dengan media jangan-jangan nggak tahu juga kapan pencoblosannya.
Apa sudah ada sosialiasi masif yang menjangkau masyarakat. Apakah ada jaminan perusahaan tempatnya bekerja memberi kesempatan untuk libur, karena masih ada perusahaan yang tidak mau meliburkan.
(vit/nrl)
Ray Rangkuti
0 komentar:
Posting Komentar