JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengatakan, untuk bisa menyelenggarakan pilkada serentak, pemerintah lebih dulu akan mengusulkan tiga opsi format. Hal ini terkait dengan tujuan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada yang sehat dan damai.
“Format pertama, pilkada dilakukan bersamaan dengan pilpres. Lalu memisahkan pemilihan nasional, seperti pilpres dan pileg dengan pemilihan lokal (pilkada). Kedua, opsi grouping (pengelompokan) pelaksanaan pilkada. Dimana pilkada tahun 2010-2015 ditarik pelaksanaannya di tahun 2015. Jika demikian, ada 279 pilkada yang akan dilaksanakan serentak. Lalu pilkada tahun 2016-1018, dilaksanakan serentak tahun 2018. Ada 244 pilkada serentak yang diselenggarakan,” paparnya kepada wartawan, kemarin.
Opsi ketiga, lanjutnya, melalui percepatan atau penundaan pilkada. Percepatan pelaksanaan pilkada di 2014 dilaksanakan pada Oktober 2013. Dimana bisa dipastikan ada 154 Pilkada yang dipercepat dan diselenggarakan bersamaan. Lalu penundaan pilkada di 2014 pada Maret 2015. Ada 253 Pilkada jika dilakukan serentak di 2015.
“Ketiga opsi tersebut tentunya memiliki pertimbangan masing-masing. Tinggal bagaimana DPR bersama pemerintah akan membahasnya lebih lanjut. Karena yang paling penting dalam sebuah pilkada adalah proses penyelenggaraannya,” imbuh Djohan.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik mengutarakan, jika Pilkada dilakukan serentak KPU Daerah (KPUD) akan terkendala dalam hal pengajuan anggaran. Pasalnya, pengajuan anggaran akan menyesuaikan pada penetapan APBD masing-masing daerah.
Karena itu, dia meminta, seluruh elemen yang mempengaruhi penyelenggaraan Pilkada harus diperhitungkan. Termasuk penganggarannya, apakah akan memakai APBD atau ditarik ke APBN. Jika memakai APBD, menurut dia, tentu saja penyelenggaraannya tidak akan optimal.
“Pada prinsipnya KPU setuju terhadap penataan ulang jadwal pilkada. Tapi harus didasari prinsip yang jelas. Soal penganggaran pastinya akan menjadi kendala untuk KPU. Pemerintah dan DPR harus memperhatikan aspek ini,” tegasnya.
Justru, dia menegaskan, saat sengketa Pilkada ditangani Mahkamah Konstitusi (MK), angka konflik horisontal menurun drastis di daerah. Ini didasari landasan psikologis jika dituntaskan di MK, jarang sekali orang daerah menolak jika sudah ditetapkan.
“MK lebih efektif menangani sengketa pilkada dibandingkan MA. Jikadikembalikan ke MA akan sulit juga bagi KPU untuk mengkonsolidasi penyelesaian pilkada. Jika diselesaikan di Jakarta akan lebih mudah untuk mengkonsolidasi, mengawasi dan mensupervisi. Penyelesaian sengketa pilkada di MK,” pungkasnya. (dms)
0 komentar:
Posting Komentar