Sabtu, 22 September 2012

0 Keuntungan Dukungan Asing Bagi Prabowo Subianto





       Apa untung ruginya bagi Indonesia jika Prabowo Subianto menjadi Presiden RI di 2014 dan keberhasilannya itu antara lain berkat dukungan Amerika Serikat (AS) dan Singapura?
AS merupakan negara adidaya yang salah satu kebiasaannya, menerapkan kebijakan berstandar ganda. Mendukung dan menjatuhkan orang yang sama, seorang sahabat Presiden, bagi AS bukan hal yang tabu.
Di Asia, misalnya, yang menjadi model dari kebijakan itu adalah Presiden Filipina, Ferdinand Marcos. Di Amerika Latin, Presiden Panama, Noriega. Marcos dan Noriega tadinya merupakan sosok yang sangat diproteksi AS. Tapi belakangan situasinya berubah 180 derajat.
Singapura sendiri merupakan tetangga terdekat Indonesia. Tetapi dalam soal "hati" dan ketulusan, letak negara ini terasa seperti sangat jauh. Dengan Indonesia, Singapura seolah dipisahkan oleh dua samudera yang ganas. Sehingga dukungan Singapura harus dilihat demi kepentingan negara itu sendiri semata.
Hubungan RI-Singapura hanya nampak akrab di kalangan elit dan konglomerat. Selebihnya tidak. Banyak warga kelas menengah di Singapura yang belum pernah berkunjung ke Jakarta ataupun Bali. Mengapa? Antara lain karena di negerinya, mereka tidak didorong pemerintahnya sendiri untuk mengenal Indonesia sebagai tetangga terdekat.
Uniknya dalam dua puluh tahun terakhir ini, siapapun yang berkuasa di Indonesia, selalu diperhitungkan Singapura. Negara yang penduduknya kurang dari 5 juta orang ini, telah berubah menjadi negara yang cukup berpengaruh di sebagian negara Asia. Pengaruh itu hendak dia tanamkan di Indonesia.
Berbagai produk UU di Indonesia kalau bisa, tidak ada yang bunyinya merugikan Singapura. Pengaruh Singapura sudah mirip dengan Israel di kawasan Timur Tengah. Yang bisa dikawani, benar-benar dirangkul.
Sebagai sebuah negara besar dan berdaulat, Indonesia semestinya kurang sreg kalau sampai urusan siapa yang menjadi Presiden RI pada 2014 ditentukan di Gedung Putih atau dari Orchard Road. Tetapi dalam era globalisasi, dimana negara di dunia sudah menjadi satu kesatuan tanpa perbatasan (borderless), menanam dan menyebarkan pengaruh sudah merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.
Susilo Bambang Yudhoyono, boleh jadi tidak akan pernah menjadi Presiden RI- selama dua periode, kalau tanpa pengaruh Amerika Serikat. Hampir sama situasinya dengan Presiden BJ Habibie. Presiden yang merangkap Ketua Umum ICMI itu berseteru dengan pendiri Singapura, Lee Kwan Yeuw. Hasilnya Habibie menjadi pemimpin Indonesia yang tidak diterima oleh pasar di kawasan regional. Masa jabatan Presiden Habibie pun tidak sampai 1,5 tahun.
Dengan perspektif terbatas seperti itulah pencapresan Prabowo Subianto kita coba cermati. Jika benar Amerika Serikat (AS) mendukung bekas Danjen Kopassus itu menjadi RI-1, keuntungannya bagi Indonesia antara lain adalah (Presiden) Prabowo Subianto dapat meminta jaminan Washington.
Jaminan itu berupa penghentian kegiatan lobi-lobi internasional di Gedung Putih dan Capitol Hill, yang mendukung pemisahan Papua dari NKRI. Sehingga Indonesia yang wilayahnya memiliki tiga zone waktu berbeda tetap dalam satu cakupan : dari Sabang sampai Merauke.
Setelah ada jaminan AS, Prabowo bisa menumpas kekuatan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan Papua Barat dengan alasan telah melakukan kegiatan makar. Sehingga Indonesia atau Prabowo tidak akan dituduh melakukan pelanggaran berat HAM di provinsi paling Timur itu.
Bahkan Prabowo bisa merundingkan hubungan RI-AS meniru format perjanjian AS-Jepang pasca-Perang Pasifik. Perbedaannya perjanjian AS-Jepang terjadi karena AS memenangkan Perang Pasifik. Sedangkan dalam konteksi hububungan RI-AS, perjanjian kedua negara berdaulat didasarkan pada tekad saling membantu.
Dimana semua urusan pengamanan wilayah Indonesia, ditangani oleh matra laut dan udara AS. Tujuannya untuk mencegah penyelundupan dan pencurian ikan di seluruh wilayah Indonesia oleh negara-negara asing.
Penyelundupan dan pencurian itu setiap tahunnya merugikan Indonesia hingga puluhan triliun rupiah. Penyelundupan dan pencurian itu sudah berlangsung puluhan tahun. Bayangkan berapa besar lagi kerugian Indonesia, jika penyelundupan dan pencurian terus berkelanjutan.
Dengan format kerja sama seperti itu, secara tidak langsung Indonesia memberikan ruang latihan bagi kekuatan militer AS di seputar Indonesia. Tak bisa dibantah dan tak perlu malu bahwa untuk mengamankan, menjaga seluruh wilayah luar, Indonesia tidak punya kemampuan. Daya cegah armada laut dan skuadron RI, kalah jauh dengan desepsi yang dilakukan armada asing.
Sehingga kerja sama AS-RI benar-benar didasarkan pada kebutuhan ril dan memenuhi syaratwin-win solution. Kedua belah pihak memetik keuntungan.
Dengan terbentuknya poros yang kuat antara Jakarta - Washington, posisi politik Indonesia, memang tidak lagi murni non-blok. Tapi disinilah Prabowo terpaksa harus memainkan politik double standard dalam menghadapi AS yang berpijak pada kebijakan serupa.
Dengan terbentuknya pendekatan baru dalam hubungan bilateral RI dengan AS, para sekutu AS di bibir Pasifik Barat, seperti Australia, Selandia Baru bahkan Papua Nugini, otomatis akan mendekat kepada Indonesia.
Negara-negara yang disebutkan di atas, bila perlu diberi konsesi membangun kawasan Timur Indonesia. Hasil yang diharapkan adalah beban Jakarta untuk membangun kawasan Timur Indonesia, otomatis berkurang.
Kepada Singapura, Prabowo bisa meminta agar negara tetangga itu melaksanakan perjanjian ekstradisi kedua negara. Hal ini untuk mencegah terjadinya capital ouflow ke Singapura oleh para koruptor.
Singapura tidak akan dirugikan apabila perjanjian itu tidak dilaksanakan. Sebaliknya Singapura - jika tetap dengan sikap seperti sekarang, akan tetap menjadi negara tetangga yang terus dicurigai oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Prabowo yang memiliki sikap tegas dan mau berkompromi, dapat mengubah pendirian Singapura. Bila perlu Prabowo memberi jaminan, selama dia menjadi penguasa di Indonesia, konsep pembangunan Pulau Batam, di Kepulauan Riau, akan dirombak total. Pulau itu tidak lagi dibangun dengan tujuan untuk menyaingi Singapura.
Hubungan yang konstruktif positif antara Indonesia dan AS lalu Indonesia dengan Singapura, sudah barang tentu akan dicermati oleh berbagai negara. Bahkan dapat dipastikan, bila Prabowo melakukan perubahan secara fundamental, kritik dan penentangan bukan hanya datang dari luar. Melainkan dari dalam negeri sendiri.
Maklum kekuatan yang memiliki sikap anti AS dan Singapura di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum. Tetapi itulah risiko dari keputusan untuk menentukan pilihan dan sikap. Itulah salah satu persoalan yang bakal dihadapi Prabowo dan Indonesia Raya. Yang terpenting, ketika keputusan melakukan perubahan itu diukur dengan alat timbang, pendulumnya harus lebih condong ke posisi yang menguntungkan Indonesia Raya.
Pilpres 2014 kalau dilaksanakan pada 5 Juli (putaran pertama) dan 20 September (putaran kedua), relatif sudah sangat dekat. Adanya dukungan AS dan Singapura terhadap pencapresan Prabowo Subianto menunjukkan, negara asing saja sudah membuat ancang-ancang.
Sebagai sebuah ancang-ancang dan antisipasi, sepatutnya dukungan asing terhadap Prabowo, dilihat sebagai sesuatu yang lebih banyak plusnya ketimbang minusnya. [mdr] 
inilah.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates