Selasa, 18 September 2012

0 Harapan bagi Jakarta




Jakarta adalah ibu kota negara Republik Indonesia. Wajar, kalau diberlakukan secara khusus di depan hukum. Perundangan terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), berbeda dengan daerah lainnya. Diperlukan suara 50 persen lebih satu untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Karena itulah, pilkada DKI sekarang ini berlangsung dua putaran.

Kini, kita telah memasuki masa tenang, masa di mana tidak boleh ada yang melakukan kampanye. Rakyat sebagai pemilih, sebagai pemegang kedaulatan rakyat, akan menjadi hakim pada tanggal 20 September besok. Apa pun pilihan rakyat, wajib ditaati oleh semua warga Jakarta. Dan, siapa pun yang terpilih, harus kita dukung bersama, agar berhasil melaksanakan janji-janjinya. Hanya dengan cara begitu, kita bisa menarik manfaat dari proses demokrasi yang sesungguhnya.
Dapatkah nanti pilkada DKI berakhir seperti itu? Pertanyaan ini harus kita jawab bersama. Meski sudah di era keterbukaan yang luar biasa, peran para pemimpin akan sangat menentukan.
Dapatkah kedua calon gubernur-wakil gubernur memberi contoh perilaku yang demokratis? Legowo kalau kalah dan besar hati kalau menang. Meski kalah, bersedia mendukung sang pemenang agar berhasil melaksanakan tugasnya. Meskipun menang, bersedia merangkul yang kalah untuk bekerja bersama mengabdi rakyat Jakarta. Skenarionya tidak sulit. Sebab, telah banyak diberikan contoh di negara demokrasi lainnya.
Akan sangat indah, meskipun belum diumumkan secara resmi, apabila sudah diperhitungkan kalah, yang kalah memberikan selamat pada yang menang. Sebaliknya, bagi yang menang, menyatakan kesediaannya untuk merangkul yang kalah, tidak menepuk dada, yang hanya menimbulkan rasa dengki. Olok-olok selama kampanye, yang bisa jadi sangat menyakitkan hati, harus dikubur bersamaan dengan selesainya pilkada.
Kalau pilkada DKI bisa melahirkan kondisi demokrasi seperti itu, insya Allah, akan merupakan pembelajaran yang sangat berharga dalam mewujudkan budaya demokrasi di Indonesia. Sebab, budaya seperti itu harus kita akui, terasa belum terbentuk. Budaya seperti itu di masyarakat dikenal sebagai budaya pokoke. Pokoke menang dengan jalan apa pun. Sebuah budaya yang sebenarnya lebih memanifestasikan budaya otoritarian. Sebab, esensinya berarti tujuan menghalalkan cara.
Inilah harapan kita pada pilkada DKI. Jakarta sebagai ibu kota negara sudah tentu merupakan jendela bagi orang asing untuk melihat Indonesia. Kalau di Jakarta bisa terbentuk budaya demokrasi seperti itu, insya Allah, akan memperkuat predikat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Jangan sampai predikat itu hanya didukung oleh besarnya jumlah penduduk, sementara secara kualitatif, proses demokrasi kita sesungguhnya masih dalam tahapan "pseudo-demokrasi".
Dari luar tampak demokratis, sementara dari dalam, budaya otoritarian, asal menang, tujuan menghalalkan cara, masih hidup di masyarakat kita. Siapa pun yang terpilih, sepanjang prosesnya benar-benar demokratis, itulah yang terbaik bagi kita. Ia wajib kita dukung untuk melaksanakan janji-janjinya agar rakyat makin sejahtera. ***


0 komentar:

Posting Komentar

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates