Senin, 29 Oktober 2012

0 Gagal Mental Lebih Bahaya daripada Gagal Ginjal





Gagal ginjal,gagal mental,produk gagal ,semuanya merugikan.Pertanyaanya adalah lebih fatal mana antara gagal ginjal atau  gagal mental???
Apa jadinya jika seseorang mengalami gagal ginjal? Kematian adalah hal pasti, sebab ginjal adalah salah satu organ vital. Gagal ginjal, berakibat fatal dengan kematian raga manusia. Namun, dalam hal harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan, fatalnya gagal ginjal, tak sefatal gagal mental. Sebab bila gagal ginjal yang berpuncak pada kematian raga-jasad-fisik-material, setelah itu, urusan selesai, dan tidak serta merta menurunkan harkat-martabat citra manusia.
Namun bila gagal mental, yang mengalami kematian adalah mentalitas, jiwa-ruh-psikis-spiritual. Manusia gagal mental ibarat mati dalam hidup, mayat berjalan, atau dalam legenda dikenal sebagai zombie, hantu teror penebar horor. Manusia gagal mental kehilangan seluruh harkat-martabat-citra manusia sebagai makhluk mulia. Kerusakan dan gangguan mental yang berujung pada tahap gagal (kematian mental), gila. Ia bisa berupa edan, sinting, atau kenthir. Semua sama saja, hilangnya logika dan nurani (akal sehat dan akal budi), yang menjadi indikator kewarasan manusia berperadaban dan berkeadaban.
Apa jadinya jika orang gila berkeliaran di lingkungan orang-orang waras? Sudah tentu menjadi hantu pengganggu kenyamanan suasana. Lalu bagaimana jika orang gila yang bertabiat merusak? Horor dan teror jelas menjadi petaka. Mati tidak, hidup tidak. Mau di”non aktif”kan alias dimatikan, melanggar hak asasi manusia, karena orang gila juga masih dianggap sebagai bagian dari manusia. Pengobatan untuk memulihkan kewarasan adalah solusi yang tak bisa ditawar.
Masalahnya, bila dalam satu komunitas didominasi oleh kelompok orang gila, manusia yang gagal mental, sementara yang masih waras menjadi minoritas. Lha ini baru namanya zaman edan. Bila nggak ikut-ikutan ngedan nggak keduman (yang tak ikut menggila tak kebagian). Fatal dan fatal akibatnya. Dan bila orang gila sudah mendominasi suatu komunitas bangsa, bersiaplah menghadapi kiamat negara.
Gila, sebagai bentuk kegagalan mental manusia, bisa juga berbentuk lain dalam kegagalan mental dewasa. Bangsa autis (keterbelakangan mental) akan terlihat tua dengan usia yang seolah dewasa, namun (seperti sikatakan Gus Dur), mentalnya masih TK, childish-kekanak-kanakan. Seperti bangsa ini, raga nampaknya bongsordewasa, bahkan kadang seolah sudah tua renta, namun jiwa masih jauh tertinggal di belakang. Gerak paralel jiwa dan raga bangsa ini, bagai perbandingan deret angka dan deret ukur. Maka kita selalau tertinggal dalam dinamika kompetisi peradaban zaman.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya…” Wage Rudolf Supratman telah mengingatkan dengan lagu kebangsaan. Namun 67 tahun lagu dikumandangkan, paduan suara hanya membumbung ke angkasa, gagal merasuk ke dalam dada manusia Indonesia. Bangunan badan menjadi berhala, bangunan jiwa terkubur dalam pemakaman massal kosa kata. Geriap pembangunan materialistik-hedonik-kapitalistik dalam teknologi menggerus dan memberangus spirit pembangunan mental-spiritual bangsa. Tumbuhlah kita menjadi bangsa bermental kurcaci di balik badan kurcaca. Bangsa bermental banci di balik badan ksatria. Bangsa bermental kerdil di ablik badan raksasa.
Mungkin akan lebih baik bila bangsa ini gagal ginjal. Mati satu, lalu bisa terganti seribu oleh generasi baru, pelanjut manusia Indonesia baru yang lebih sehat, waras, normal. Tapi karena bangsa ini sudah terlanjur gagal mental, regenerasi terhambat, terapi penyembuhan tersumbat, jalan pembaharuan tercegat. Kiamat. Gagal mental juga menjadi penyebab gagalnya regenerasi kepemimpinan negeri. Krisis kepemimpinan nasional, konsekuensi logis dari bangsa gagal mental.
Sayang seribu sayang. Potensi surgawi yang semestinya menghantarkan bangsa nusantara menjadi raja perkasa “mati sebelum sempat tumbuh berkecambah,” terbekap oleh “kekuatan lama” yang masih dahaga oleh magnet dunia, yang terangkum dalam harta-tahta-wanita. Rumah-ramah-rahmah surga zamrud khatulistiwa, berubah menjadi rumah kaca panas membakar bagai neraka. Gemah ripah loh jinawi tinggal mimpi. Jangankan bermimpi menjadi “adi daya” dunia, menjadi raja di Asia pun hanya fatamorgana.
Kemiskinan dan pemiskinan, kebodohan dan pembodohan, kehancuran dan penghancuran, penjajahan baru terkordinasi rapi dalam “Nekolim-Korporatokrasi lokal-global.” Potret terkini bangsa gagal mental. Republik zombie, sesama anak negeri saling kanibal. Bangsa kering kerontang dari nilai-nilai adiluhung norma-etika-moral. Gagal mental menjadi epidemi nasional, dengan daya rusak ribuan kali lipat dari gagal ginjal. Sayang seribu sayang, yang terawariskan dari setiap generasi hanya daya pandir dan daya bebal.
Bung Karno pernah berpesan, “Jasmerah,” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Namun pesan luhur dianggap pepesan bubur. Generasi reformasi durhaka pada sejarah dan ibu pertiwi, lupa pada lagu kebangsaannya sendiri. Karma suci dari hukum kekekalan energi, hari ini kita sebagai bangsa menanggung “penyakit” warisan kerusakan fatal organ vital tubuh negara-bangsa, gagal mental.



Dan kini kita harus berpikir keras untuk membalikkan karma bangsa, menyulam kembali kain sejarah yang terkoyak robek sana-sini, terapi mental nasional. Jika hari ini kita masih juga gagal menangkap pesan-pesan alam yang langit kirimkan dalam ragam peristiwa Indonesiana, maka kita akan gagal menjadi bangsa sejati berharkat-martabat-citra layaknya manusia, dan kita mesti rela menjadi bangsa mainan, palsu, imitasi, alias abal-abal.



0 komentar:

Posting Komentar

 

ekoqren Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates